Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 27 July 2014

Beragam Cara Melihat Hilal Di Indonesia


ninja250r.wordpress.com/

Setelah bulan Ramadhan berakhir kaum  muslimin akan memasuki bulan Syawal. Namun tak jarang  terjadi perbedaan dalam mengawali shalat Iedul Fitri.  Perbedaan terjadi karena cara pandang dalam menentukan bulan baru atau hilal.
Kaum muslimin di Indonesia setidaknya memiliki tiga cara pandang dalam menentukan hilal.

Metode Hisab Wujudul Hilal (Muhammadiyah).
Menurut Muhammadiyah penentuan awal bulan Qomariyah adalah ketika adanya wujud hilal diatas ufuk setelah matahari terbenam. Dan terjadi setelah konjungsi atau ijtima antara bulan dan matahari. Inilah yang di sebut Muhammadiyah sebagai sistem wujudul hilal. Jika menurut hisab hilal sudah ada maka memasuki bulan baru.
 
Hisab Wujud Hilal bagi Muhammadiyah bukan untuk menentukan hilal mungkin dilihat atau tidak, akan tetapi untuk dijadikan dasar dalam menetapkan awal bulan Qomariah dan sekaligus dijadikan sebagai bukti bahwa bulan baru sudah tiba atau belum.
 
Metode Imkan Rukyat (Pemerintah Republik Indonesia).
Pemerintah RI dalam menentukan awal bulan memakai patokan imkanur rukyah, yakni batas minimal hilal dapat dilihat dengan pengamatan mata. Batas yang dimaksud pemerintah adalah dua derajat. Artinya jika hilal posisinya masih di bawah ketinggian dua derajat, maka hilal mustahil diamati dengan mata telanjang.  Namun bila hilal sudah berada diatas dua derajat meskipun tidak terlihat maka sudah memasuki bulan baru.

Metode Rukyatul Hilal Bil Fi`li (Nahdlatul Ulama).
NU dalam menentukan awal bulan dengan menggunakan kriteria rukyatul hilal bil fi’li, yaitu mensyaratkan terlihatnya hilal lebih dari 2 derajat dengan mata telanjang. Artinya meskipun sudah berada diatas dua derajat namun hilal tidak terlihat dengan mata telanjang maupun bantuan alat maka besok masih belum memasuki bulan baru.
 
Namun menurut catatan Mutoha Arkhanudin, ahli falak dari Yogyakarta, penetapan hilal yang berkembang di Indonesia justru mengalami kemunduran. Karena Penelitian era modern yang dilakukan ahli-ahli Astronomi, tidak satupun mengindikasikan bahwa hilal pada ketinggian 2°-3° dapat dirukyat apalagi hanya dengan mata telanjang.
 
Bahkan Jauh sebelum Islam lahir ahli falak Babilonia sudah mengetahui bahwa hilal hanya bisa disaksikan pada minimal ketinggian 12°. Dan diperkuat ahli falak Islam pada abad ke-8, Ibnu Thariq. Begitu juga pendapat pada era-era setelahnya, Al Batani dan Al Khawarizmi dan Habash.
 
Begitu juga menurut Prof. Dr. Thomas Djamaluddin dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, tinggi hilal yang dapat terlihat di Indonesia adalah di atas 4 derajat, dengan elongasi (jarak hilal dan matahari) 6,4 derajat. Dan menurut beberapa ahli yang tergabung dalam Islamic Crescent Observation Project (ICOP) hilal di Indonesia hanya dapat dilihat dengan mata telanjang apabila mencapai ketinggian 10 derajat di atas ufuk dan 7 derajat dengan alat optik. (MA/dari berbagai sumber)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *