Satu Islam Untuk Semua

Friday, 13 January 2017

Apa itu 16 Harga Mati NU?


islamindonesia.id – Apa itu 16 Harga Mati NU?

 

KH Afifuddin Muhajir yang tampil sebagai narasumber pada Seminar Nasional Refleksi 33 Tahun Khittah NU, Rabu (11/1/2017) menegaskan bahwa sebagai organisasi sosial keagamaan (jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah), Nahdlatul Ulama (NU) memiliki prinsip dasar yang harus tetap terjaga. Namun ada pula hal yang harus diadaptasikan dengan keadaan.

Setidaknya ada 16 hal yang menurut Kiai Afif harus dipegang teguh para fungsionaris dan warga NU. “Saya menyebutnya dengan harga mati NU,” katanya di aula Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, Jawa Timur.

“Pertama, Khittah NU 1926 yang dipertegas perumusannya pada Musyawarah Nasional atau Munas tahun 1983 dan Muktamar 1984 di Situbondo adalah sebagai harga mati,” jelasnya.

Sedangkan harga mati kedua, bahwa NU mendasarkan paham keagamaannya kepada Al-Qur’an, Sunah, Ijma dan Qiyas.

“Bahwa dalam menafsirkan dan menerjemahkan 4 sumber di atas, NU menempuh pendekatan dengan bermadzhab kepada ulama AhlusSunah wal Jamaah baik qaulan wa fi’lan,” urainya.

Harga mati keempat dalam pandangan Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo ini adalah bahwa di bidang aqidah, NU harus mengikuti madzhab Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi.

“Bahwa di bidang fikih, NU mengikuti 4 madzhab, qaulan wa fi’lan. Dan ini adalah harga mati,” tegasnya.

Hal yang tidak dapat ditawar berikutnya bahwa di bidang tasawuf, NU mengikuti Imam Junaid al-Baghdadi, dan Imam Abu Hamid al-Ghazali. “Dalam berfikir bersikap dan bertindak, NU berpegang pada prinsip tasamuh, tawassuth, i’tidal dan tawazun,” ungkap Kiai Afif.

[Baca: Terbitkan ‘Deklarasi NU’, Kang Said: Menjaga Perdamaian, Jihad Sebenarnya]

Sementara, harga mati kedelapan bagi NU adalah tidak liberal dan fundamentalis atau konservatif. “Bahwa ulama sebagai penyambung matarantai paham Aswaja dan berfungsi sebagai pengelola, pengawas dan penyambung utama jalannya organisasi,” jelasnya.

Sedangkan kesepuluh, posisi lembaga syuriah yang diisi para ulama berpengaruh, berfungsi sebagai pembuat kebijakan. “Dan lembaga tanfidziyah sebagai pelaksana kebijakan,” katanya.

Bagi mantan Katib PBNU tersebut, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berasaskan ketuhanan Yang Maha Esa adalah sah menurut pandangan ulama. “Bahkan merupakan bentuk final sehingga ada keharusan menjaga, mencurahkan dan mengusahakan perbaikan secara terus menerus,” ungkapnya.

Harga mati kedua belas, Pancasila tidak bertentangan, bahkan selaras dengan Islam. “Bahwa NU harus memiliki jarak yang sama dengan partai politik, dan ini harga mati,” katanya.

Harga mati keempat belas adalah bahwa NU harus mandiri, tidak terkooptasi oleh penguasa dan pengusaha. Titik tekan selanjutnya adalah menjaga ukhuwah Islamiyah dan wathaniyah.

Di akhir penjelasannya, Kiai Afif mengingatkan bahwa, “Tidak ada pertentangan antara keberagamaan dan kebhinnekaan.”

[Baca: Ketum PBNU: Jaga NU Jaga Indonesia Perlu Cerdas dan Moderat]

 

EH / Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *