Satu Islam Untuk Semua

Monday, 15 September 2014

Apa dan Siapa Muslim Houtsi di Yaman


Abdulmalik bin Bader al-Deen al-Houtsi.

Sana’a, ibukota Yaman, kembali berdarah-darah lepas pasukan rezim menembaki demonstran Houtsi yang berbaris menuju kantor Perdana Mentri, Mohammed Basindwa pada Selasa (9/9). Tercatat, tujuh orang tewas dan seratus lebih terluka.

Kelompok Houtsi, yang berperan besar dalam pelengseran diktator Ali Abdullah Saleh tahun 2011, terus menggelar demo. Meski pemerintah Yaman sudah berusaha mengambil hati dengan membatalkan pembabatan subsidi minyak bahkan berjanji meracik pemerintahan baru, mereka tetap menuntut lengsernya Presiden Abd Rabbuh Mansur Hadi yang berkuasa sejak 25 Februari 2012.

Nama kelompok ini, Houtsi, diambil dari nama pemimpinnya, Hussein Bader al-Deen al-Houtsi. Pria kelahiran Bani Saher, Provinsi Sa’ada tahun 1957 ini seorang sayyid. Garis keturunannya sampai pada imam ketiga Syiah, Hussein bin Ali ra. Tahun 1990, Hussein al-Houtsi menetaskan Partai al-Haq di Provinsi Sa’ada, utara Sana’a, yang mayoritas penduduknya adalah kaum Syiah Zaidiyah. Sekte Syiah ini mempercayai empat imam yang sama dengan Syiah 12 Imam. Hanya saja mereka menganggap Zaid bin Ali sebagai imam kelima; bukan Muhammad bin Ali al-Baqir.

Setahun kemudian, Hussein al-Houtsi mendirikan organisasi Pemuda Mukmin (Shahab al-Mu’min) di Marran, salah satu distrik Sa’ada. Ia menyegarkan kembali event-event budaya, sosial dan agama di sana. Ia juga mengumpulkan para ulama Zaidiyah dan provinsi lain agar mereka mendukung partai al-Haq yang mewakili ideologi politik Zaidiyah. Bersamaan itu, ia menyebarluaskan buku karyanya yang melawan gagasan ulama Salafi, Sheikh Muqbil al-Wadei. Satu dekade sebelumnya, tepatnya tahun 1979, al-Wadei membangun Dar al-Hadits Center di desa Dammaj, Provinsi Sa’ada. Al-Wedai menyebarkan doktrin Salafi di sana dengan bekingan Saleh demi menghambat gerakan kaum Zaidiyyah yang kabarnya, ingin menegakkan kembali imamah yang sempat berkibar di Yaman tahun 1918-1962.

Hussein al-Houtsi mengecap pendidikan sampai tingkat SMP. Ia juga mendalami doktrin Zaidiyah dari ayahnya dan ulama-ulama lain.

Pada 1993-1997, mewakili distrik Marran, ia menjejakkan kaki di Parlemen Yaman. Sayang, ia harus angkat kaki lepas itu karena gagal meraup suara yang cukup. Tak mau berpangku tangan, ia mulai menyebarkan ideologinya lewat sekolah-sekolah, ruang-ruang kuliah dan mimbar-mimbar. Ia juga melipatgandakan perhatiannya pada Pemuda Mukmin sembari membidani kelahiran beberapa cabang organisasi dan membangun beberapa mesjid di Provinsi Sa’ada.

Usai pecahnya tragedi 11 September 2001 di New York, Saleh jadi ketakutan dan mengira gerakan Salafi kian laju. Ia banting setir mendukung Hussein al-Houtsi demi mengeremnya. Tapi, lepas invasi Irak di Irak tahun 2003, Hussein al-Houtsi mulai mengecam kehijakan Saleh, Bahkan ia menyebut Saleh sebagai agen Israel dan AS. Saat Saleh, suatu hari, pergi menuju salah satu mesjid di Provinsi Sa’ada, tiba-tiba warga meneriakkan yel-yel yang pernah diteriakkan Hussein al-Houtsi di atas bukit Marran awal Januari 2002.  “Allah Maha besar! Mampus Amerika! Mampus Israel! Terkutuklah Yahudi! Islam akan menang!” Menyaksikan ini, Saleh berang dan kemudian menerungku 600 warga.

Mencium bau perlawanan, Saleh banting setir lagi. Kini ia kembali mendukung Salafi. Ia menugaskan ulama-ulama Salafi menjadi imam di mesjid-mesjid Sa’ada. Para pengikut dan simpatisan Hussein al-Houtsi juga dilemparkannya ke bui. Guru-guru yang ikut serta dalam kegiatan Hussein al-Houtsi disumbat gajinya.

Medio 2004, 640 pelajar ditangkap aparat keamanan saat menggelar demo di depan Kedubes AS di Sana’a. Hussein al-Houtsi juga ditangkap dengan tuduhan kudeta dan berusaha menegakkan imamah. Insiden pahit ini membuat Pemuda Mukmin, yang kemudian dikenal luas sebagai Houtsi, memulai gerakan militer melawan pemerintah. Tercatat enam ronde perang antara Houtsi dan pemerintah di Sa’ada sejak 2004-2010. Kelompok afiliasi Houtsi menyatakan 6.351 Houtsi tewas selama enam ronde perang tersebut. Sementara di pihak pemerintah, seperti disebut Presiden Hadi, 4.000 lebih tentara meregang nyawa dan 12.000 lainnya terluka.

Di ronde pertama perang yang berlangsung 18 Juni-10 September, Hussein al-Houtsi tewas. Saudaranya, Abdulmalik bin Bader al-Deen al-Houtsi, kelahiran 1982, segera mengambil alih tampuk kepemimpinan. Ia juga seorang militer dan ulama Zaidiyah.

Negara tetangga terdekat Yaman, Saudi Arabia, mulai ikut campur dalam perang ini pada tahun 2009. Saudi mengklaim, Houtsi menyusup dan menembaki tentaranya yang bertugas di perbatasan. Houtsi balik menuduh Saudi mengizinkan tentara Yaman masuk ke kawasannya di Bukit al-Dokhan di Jizan demi memudahkan penggempuran Houtsi dari dua arah. Karena negosiasi dengan Saudi gagal, pada 2 November 2009, Houtsi menyerang bukit al-Dokhan dan berhasil menguasainya.

Perlawanan bersenjata Houtsi terus menggelinding. Pada 2011, Houtsi menutup jalan masuk menuju Dammaj yang warganya banyak beraliran Salafi. Dengan dalih memeriksa senjata dan orang asing di sana, mereka mengepung Dar al-Hadits selama dua bulan. Perang pun pecah antara Houtsi dan Salafi antara Oktober 2011 sampai Januari 2014, menewaskan 830 Salafi. Hal ini memaksa Presiden Hadi mengeluarkan dekrit agar warga non Salafi segera meninggalkan Dammaj. Ia juga menengahi kesepakatan antara pihak berseteru yang mengizinkan Salafi Yaman meninggalkan Dammaj.  Sekitar 15.000 Salafi pindah ke wilayah lain, mayoritas hijrah ke Sana’a.

Perang terbaru pecah antara Houtsi dan Salafi di distrik Mabar, Provinsi Dhamar akhir tahun lalu. Tapi gencatan senjata segera tercapai pada 26 Januari 2014.

Selama enam ronde perang itu pula, Houtsi secara sporadis memerangi Partai Islah yang diklaim ikut berperang bersama tentara pemerintah.

Sepanjang tahun 2014, Houtsi juga berperang melawan suku-suku loyalis Partai Islah di kawasan al-Osaimat. Api perang sempat padam sejenak tapi kembali menyala lepas peledakan rumah pemimpin kabilah Hashed, Sheikh Abdullah bin Hussein al-Ahmar dan pengusiran keluarganya dari sana.

Lalu dari mana senjata Houtsi? Para pedagan senjata yang tersebar di Provinsi Marib, al-Jawf dan Sa’ada memudahkan Houtsi memasok senjata. Mereka juga mendapat bantuan senjata dari suku-suku afiliasi. Selain itu, ternyata tentara Yaman sendiri sering menjual senjata pada Houtsi karena gaji rendah dan kesulitan ekonomi. Tentara Yaman juga ingin melemahkan pengaruh Ali Mohsen, saudara tiri Saleh, yang digadang-gadang akan menjadi pengganti Saleh lewat penjualan senjata ini. Houtsi juga sempat sukses mencuri senjata canggih milik negara di Provinsi amran, Sa’ada dan al-Jawf.

Saleh beberapa kali menuduh Iran mendukung Houtsi secara finansial dan militer. Ini juga diamini Hadi. Ia melontarkan tuduhannya 26 Agustus  lalu.

Di tengah gemuruh revolusi rakyat yang menuntut lengsernya Saleh, Houtsi ikut memainkan peran penting. Houtsi menjadi salah satu anggota dalam National Dialogue Conference (NDC) yang terbentuk setelah Saleh terjungkal. Keikutsertaan ini membuat Houtsi mendapat label baru “Ansharullah” atau Penolong Allah pada Maret 2013. Meraup 35 kursi, Houtsi menjadi satu-satunya kelompok yang mewakili Provinsi Sa’ada di NDC.

Begitu terpilih menggantikan Saleh pada tahun 2012, Presiden Hadi berupaya melakukan upaya rekonsiliasi dengan memindahkan makam Hussein al-Houtsi ke Marran, Provinsi Sa’ada. Prosesi ini disaksikan ribuan pendukungnya. Sebuah tempat ziarah pun dibangun di sana.

Kini Houtsi mengontrol Provinsi Sa’ada, Amran, Marran dan Hajjah. Keberadaan mereka juga cukup kuat di beberapa kawasan Sana’a seperti Ahrab dan Hamdan.

Houtsi juga punya beberapa outlet media sepeerti saluran TV al-Masira, radio Sam, koran al-Haweya dan al-Masira serta beberapa website.

(Nisa/Yemen Times)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *