Satu Islam Untuk Semua

Friday, 19 October 2018

Analisis – Kematian Khashoggi dan Implikasi Geopolitiknya oleh Dina Y. Sulaeman


islamindonesia.id – Kematian Khashoggi dan Implikasi Geopolitiknya

 

Oleh Dina Y. Sulaeman | Pengamat Timur Tengah, Penulis Buku Salju di Aleppo

 

Banyak yang menulis dengan penuh puji-pujian padanya: jurnalis yang adil, progresif, pengkritik Rezim Saud. Banyak pula yang heran, mengapa dunia sedemikian heboh atas tewasnya satu orang Khashoggi di tangan rezim Saud, tapi tak terlalu peduli pada nasib 30 juta warga Yaman yang setiap hari dibombardir serta diblokade sehingga tidak mendapat akses makanan dan obat-obatan, oleh rezim yang sama?

Saya akan cerita sedikit saja. Begini, to the point: Jamal Khashoggi adalah pengikut Ikhwanul Muslimin (IM) dan pendukung “mujahidin” (tepatnya, “teroris”, karena cara-cara teror barbar mereka sudah masuk kategori terorisme) di Suriah. Kita tahu, saya sudah sering tulis, sebagian “mujahidin” Suriah, terutama yang mendapat sumbangan dana dari Turki dan Qatar (dan lembaga-lembaga donasi dari Indonesia) memang berideologi Ikhwanul Muslimin.

Dalam tulisannya di Washington Post 3 Juli 2018, Khashoggi mengatakan, “Ini waktunya buat AS (Amerika Serikat) untuk masuk (ke Suriah) dan menegakkan otoritas tradisionalnya di kawasan. …AS adalah satu-satunya ‘broker’ (makelar) yang jujur dalam upaya internasional untuk menciptakan perdamaian dan keadilan untuk rakyat Suriah. Template (pola) yang cocok untuk Suriah adalah apa yang saat ini DILAKUKAN TURKI di Afrin… Wilayah yang dikontrol Assad diperintah dengan penuh ketakutan dan kehilangan harapan.”[1]

Rezim Assad adalah rezim yang sekuler, tapi dalam pandangan Khashoggi justru ‘mengerikan’. Baginya, wilayah yang dikuasai oleh ‘mujahidin’ yang dikontrol Turki (tak lain, Ikhwanul Muslimin) lebih baik daripada Assad.

Saya pakai huruf besar “DILAKUKAN TURKI”, memperlihatkan keterkaitan erat antara Khashoggi dan Turki. Anda tahu, partai berkuasa di Turki saat ini, Adalet ve Kalkınma Partisi (AKP), adalah IM. Sebelum masuk ke Konsulat Saudi di Turki pada hari naasnya, Khashoggi berpesan kepada calon istrinya yang berhijab, “Kalau ada apa-apa, kontak Yasin Aktay.” Siapa dia? Tak lain, orang AKP.

Ok, jelas ya, Khashoggi ini siapa dan darimana.

Nah, lanjut ke pertanyaan berikut: mengapa Muhammad Bin Salman (MBS) – putra mahkota Saudi – ingin melenyapkannya? Apa karena dia mengkritik kerajaan?

Dari penjelasan saya di atas, jelas sebenarnya Khashoggi dan rezim Saud ada di ‘kotak’ yang sama: sama-sama mendukung kekerasan atas nama agama. Tapi, di antara mereka: beda aliran. Khashoggi IM, rezim Saud Wahabi tulen. Rezim Saud secara resmi memasukkan IM sebagai organisasi teroris. Padahal, ideologi IM di era modern ini sudah sangat banyak tertular Wahabisme .

(Kita di Indonesia bisa merasakannya, bagaimana orang-orang IM di negeri ini tak beda perilakunya dengan kelompok Wahabi tulen, tekstualis, intoleran, dan menghalalkan kekerasan demi  kekuasaan – buktinya, mereka dukung “jihadis” di Suriah. Ini jauh berbeda dengan ideologi awal yang dikembangkan alm. Syekh Hasan Al Banna.)

Jadi, ini sebenarnya rivalitas antara klan Salman dengan sosok yang dicurigai sedang membangun kekuatan IM di Saudi, dengan backing AS. Di satu sisi, Saudi memang sangat bergantung pada ‘perlindungan’ AS (Saudi adalah importir senjata AS terbesar; Donald Trump – Presiden AS – juga sudah blak-blakan menyatakan bahwa Saudi tidak akan bertahan tanpa AS; telaah historis juga menunjukkan betapa erat keterkaitan keduanya; AS butuh minyak, klan Saud butuh backing). Tapi di sisi lain, klan Saud juga selalu takut AS akan menggulingkannya, lalu menggantinya dengan rezim lain. Saddam (Irak), kurang apa menjilat AS, tetap digulingkan ketika tidak diperlukan lagi.

Singkat kata, ada masalah tahun 2003 (Khashoggi dipecat sebagai editor Al Watan tahun 2003, gara-gara menayangkan tulisan seorang kolumnis –bukan tulisan Khashoggi –yang mengkritik pemikir Wahabi). Peristiwa ini diblow-up media Barat untuk menebar citra bahwa Khashoggi adalah jurnalis progresif, pejuang demokrasi, dll. Namun dengan kelihaiannya, Khashoggi tetap menjadi tokoh kuat (dan banyak uang) di Saudi.  Tahun 2017, dia sendiri yang memutuskan pindah ke AS dengan alasan rezim Saud sudah semakin represif.[2]

Dan memang benar yang dikatakan Khashoggi. Pembunuhan terhadap Khashoggi yang sedemikian sadis dan brutal telah mengungkapkan jati diri rezim ini kepada dunia. Bila terhadap 30 juta warga Yaman, rezim Saud tega membombardir selama 3 tahun terus-menerus, apalagi cuma melenyapkan satu Khashoggi.

Sekarang pertanyaan selanjutnya, mengapa negara-negara Barat begitu heboh? Apa nilai penting seorang Khashoggi? Apa implikasi geopolitiknya?

Problemnya ada di cara barbar yang digunakan dalam membunuh Khashoggi. Barat sudah habis-habisan berusaha mencitrakan bahwa telah terjadi reformasi di dalam rezim Saud. Kolumnis New York Times Friedman bahkan menulis, “Akhirnya ada Arab Spring di Saudi” (maksudnya, sudah terjadi demokratisasi dan reformasi, berkat tokoh muda reformis: bin Salman).

Tapi, dengan pembunuhan yang sedemikian mengerikan, hancur sudah semua citra yang sedang dibangun itu. Para pebisnis top AS sudah ketakutan dan menolak hadir dalam Future Investment Initiative yang akan diadakan di Riyadh bulan ini.

Lalu, bagaimana Barat bisa melanjutkan skenario geopolitik mereka: menjadikan Iran sebagai pariah (dan mencitrakannya sebagai pendukung teroris; yang dimaksud teroris adalah milisi anti-Israel di Lebanon dan Palestina) dan menjadikan Saudi sebagai wakil dunia Islam yang reformis dan pro-Barat?

Daniel Shapiro, kolumnis di koran Israel, Haaretz, menulis bahwa pembunuhan ini membawa bencana bagi Israel. “MBS, dalam obsesinya membungkam para pengkritiknya, telah merusak upaya pembangunan konsensus internasional untuk menekan Iran. .. Apakah anggota Parlemen, pemimpin Eropa, kini mau duduk semeja dengan MBS untuk berkonsultasi soal Iran?”[3]

Selanjutnya, kita tunggu saja. Kalau AS masih memerlukan klan Saud, MBS akan ‘selamat’ dari badai ini. Lalu media mainstream bungkam, dan sibuk membahas hal-hal tak penting. Tapi bila tidak, upaya-upaya kudeta, atau ‘gerakan demokratisasi’ akan segera muncul di sana. []

Catatan Kaki:

[1] https://www.washingtonpost.com/news/global-opinions/wp/2018/07/03/its-time-to-divide-syria/?utm_term=.ca3a86e456c0

[2] https://www.spectator.co.uk/2018/10/death-of-a-dissident-saudi-arabia-and-the-rise-of-the-mobster-state/

[3] https://www.haaretz.com/israel-news/.premium-why-the-khashoggi-murder-is-a-disaster-for-israel-1.6569996?=&ts=_1539795855269

 

 

PH/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *