Satu Islam Untuk Semua

Friday, 22 April 2016

ANALISIS–Cegah Teror, Waspadai Operasi Senyap ISIS Indonesia


Islamindonesia.id–Cegah Teror, Waspadai Operasi Senyap ISIS Indonesia

Dalam wawancara khusus di salah satu TV swasta, setelah menyebut tragedi bom Paris beberapa bulan silam sebagai wake up call, mantan Kepala BNPT Ansyad Mbai yang kini aktif di Hendropriyono Strategic Consulting itu mengingatkan pemerintah (khususnya aparat keamanan) terkait ancaman serupa yang tak mustahil juga bakal terjadi di Indonesia. Tanpa bermaksud menakut-nakuti, kata Ansyad, faktanya Indonesia saat ini sudah berada pada level “di atas kuning”, jika tak mau menyebutnya sudah lama “merah” dalam hal kerentanan menghadapi aksi terorisme. Jadi menurut Ansyad, mungkin memang tak sepenuhnya salah jika pernah suatu ketika mantan PM Singapura Lee Kuan Yew bahkan menyebut Indonesia sebagai “sarang teroris” akibat begitu banyaknya aksi-aksi teror terjadi di negara ini. Sebut saja salah satunya, Tragedi Bom Bali.

Ansyad menengarai, hampir semua badan intelijen di seluruh dunia terhitung sama rentannya mengalami kebobolan jika sudah berhadapan dengan ancaman terorisme global. Menurutnya, bahkan badan intelijen sekelas KGB, Mossad dan CIA pun yang konon merupakan badan-badan intelijen kawakan, bisa dipastikan pernah mengalami kecolongan menghadapi aksi-aksi terorisme yang saat ini makin kuat, canggih dan terorganisir. Itu sebabnya sebut Ansyad, kewaspadaan aparat keamanan tak boleh kendor barang sehari pun. Selain itu, bukan hanya semata teori di atas kertas, seluruh aparat keamanan terkait itu pun perlu makin meningkatkan koordinasi dan sinergi di lapangan. Jika tidak, maka kejadian mengerikan yang menimpa Paris pertengahan November 2015 lalu itu bisa saja benar-benar terjadi di Indonesia.

Seperti dilansir banyak media, pada malam hari tanggal 13 November 2015 silam, serangkaian serangan teroris terencana—penembakan massal, bom bunuh diri, dan penyanderaan—terjadi di Paris, Perancis dan Saint-Denis, kota pinggiran sebelah utara negara itu. Sejak pukul 21:16 waktu setempat, setidaknya sudah terjadi enam penembakan massal dan tiga bom bunuh diri terpisah dekat Stade de France. Serangan paling mematikan terjadi di teater Bataclan, lokasi penyanderaan dan tembak-menembak antara pelaku dan polisi yang berakhir pukul 00:58 jelang 14 November.

Sedikitnya 129 orang tewas, 89 di antaranya di teater Bataclan. Sementara 352 orang lainnya cedera dalam serangan ini, termasuk 99 penderita luka serius. Selain korban sipil, enam pelaku tewas dan pihak berwenang masih terus memburu pelaku lain kala itu.

Sebelum serangan terjadi, pemerintah Perancis meningkatkan kewaspadaan setelah serangan Januari 2015 di Paris yang menewaskan 17 orang, termasuk warga sipil dan polisi. Pukul 23:58, Presiden François Hollande mengumumkan keadaan darurat untuk pertama kalinya sejak kerusuhan 2005, dan menutup perbatasan Perancis untuk sementara. Jam malam pun diberlakukan di Paris untuk pertama kalinya sejak 1944.

Tanggal 14 November, Negara Islam Irak dan Syam (NIIS) atau ISIS mengaku bertanggung jawab atas serangan ini. Motif ISIS adalah balas dendam atas keterlibatan Perancis dalam Perang Suriah dan Irak.

Hollande mengatakan bahwa serangan ini sudah direncanakan dari luar negeri oleh DAESH, singkatan NIIS dalam bahasa Arab, dengan bantuan di dalam negeri, dan mencap serangan ini sebagai “tindakan perang.” Serangan ini merupakan aksi paling mematikan yang terjadi di Perancis sejak Perang Dunia II, dan di Uni Eropa sejak bom kereta api Madrid tahun 2004.

Menilik dahsyatnya Tragedi Paris, sangat beralasan jika Ansyad selaku mantan Kepala BNPT mengingatkan betapa Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini sangat rentan dimanfaatkan pihak ISIS untuk dijadikan sebagai negara eksportir teroris—atau dalam istilah mereka “jihadis” ke negara-negara lain, khususnya di kawasan Timur Tengah. Apalagi menurut data yang dimilikinya, Ansyad menyebut bahwa sejak beberapa tahun terakhir sudah ada ratusan simpatisan ISIS di Indonesia yang hingga kini tak pernah tinggal diam dan terus berkonsolidasi secara serius—bahkan di beberapa tempat di pusat Ibu Kota Jakarta, untuk mendukung tegaknya apa yang mereka yakini sebagai Negara Islam di bawah pimpinan Abubakar Al Baghdadi itu.

Bahkan, salah seorang bernama Frederick C. Jean Salvi  yang belakangan diduga terlibat aksi Bom Paris, menurut Ansyad juga pernah dekat dengan beberapa tokoh Kelompok Cibiru dan pernah bermukim di salah satu Pesantren di kawasan Bandung, Jawa Barat. Dia disebut-sebut pernah mendalami ilmu agama di Pondok Pesantren Al Jawami, Cileunyi, Kabupaten Bandung selama setahun. Hal ini diamini pimpinan Pesantren Al-Jawami Kiai Haji Imang Abdul Hamid, yang mengatakan sempat berkenalan dengan Frederick pada tahun 2005. Saat itu, katanya, Frederick dibawa oleh seorang pemuda tak dikenal ke pesantrennya.

Nama Frederick mencuat setelah peristiwa pengeboman di KBRI Perancis pada tahun 2012 silam, sebagai orang di balik peristiwa tersebut. Sejak tahun 2010, Frederick merupakan buronan pihak kepolisian Indonesia dan Densus 88. Ia juga diduga telah terlibat dalam sindikat teroris Kelompok Cibiru, Bandung.

Selain nama Frederick, untuk memperkuat pernyataannya, Ansyad pun menyebut beberapa nama terpidana terorisme asal Indonesia yang merupakan kombatan alumni Irak dan Suriah, salah satunya Abu Tholut, yang menurutnya merupakan ancaman nyata dan sewaktu-waktu bisa muncul ke permukaan jika aparat keamanan lengah dan kurang sigap melakukan tindak pencegahan.

Pernyataan dan imbauan Ansyad beberapa bulan lalu ternyata makin menemukan korelasinya saat ini dengan beredarnya bocoran laporan internal kepolisian di kalangan wartawan, perihal adanya beberapa pertemuan penting yang digelar para tokoh dan simpatisan ISIS Indonesia di Wisma Haji Bekasi belum lama ini.

Laporan internal kepolisian itu menyebutkan, merujuk pada jalannya diskusi tertutup sejumlah pimpinan kelompok militan di Bekasi, Senin (18/4), kubu pendukung ISIS berpandangan masih terbuka peluang dan jalan untuk menumbuhkan simpati Muslimin di Indonesia pada keberadaan ISIS serta pesan-pesan kekhalifahan Abubakar Al Baghdadi, termasuk via “diskusi ilmiah” dan tablig akbar.

Bukan hanya itu, diskusi bertema “Kepemimpinan Khilafah (ISIS) di Bawah Pimpinan Al-Baghdadi” yang dimoderatori KH. Z (salah seorang anggota MUI Jawa Barat) itu juga dihadiri oleh salah seorang yang menyandang nom de guerre Abu Tholut, merujuk pada orang yang sama, yang juga pernah disebut-sebut Ansyad dalam wawancaranya itu.

Mencermati perkembangan ancaman yang tampaknya makin serius ini, patut kiranya kaum Muslimin Indonesia berharap agar pemerintah, dalam hal ini aparat keamanan tidak tinggal diam di hadapan “operasi senyap” para simpatisan ISIS tersebut.

 

EH/Islam Indonesia

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *