Satu Islam Untuk Semua

Monday, 30 May 2016

WAWANCARA – Azyumardi Azra: ‘Islam Indonesia itu Berbunga-bunga, Bukan Wahabi Primitif”


Islamindonesia.id–Azyumardi Azra: ‘Islam Indonesia itu Berbunga-bunga, Bukan Wahabi Primitif’

Wacana “Islam Indonesia” belakangan kembali marak seiring merebaknya aliran-aliran Islam garis keras yang mengambil inspirasi dari berbagai konflik di Timur Tengah. Tidak jarang bahkan secara keliru kelompok-kelompok itu menjadikan konflik di Timur Tengah sebagai bahan baku pemahamannya tentang Islam sehingga Islam itu selalu dipahami dalam kerangka konflik dan sektarianisme yang pekat. Alih-alih menyumbang bagi suatu solusi, pemahaman yang bertumpu pada konflik ini justru seolah menjadikan konflik itu sendiri sebagai faktor determinan agama, sebagai sesuatu yang permanen, dan unsur yang mendefinisikan Islam.

Bahaya dari perilaku ini tak hanya merusak pemahaman Islam sebagai agama rahmat bagi sekalian alam semesta tetapi lebih dari itu adalah menyuburkan ideologi kekerasan dengan pembenaran tekstual yang diada-adakan. Inilah mengapa seringkali konflik yang bernuansa agama itu berlangsung lama dan berlarut-larut. Bukannya diselesaikan dan dianggap sebagai sesuatu yang anomali, oleh kalangan ini konflik itu justru dipakai sebagai sumber makna dan unsur penentu pemahaman dan penafsiran agamanya. Sedemikian sehingga umat ini menjadi lebih berpegang pada mazhab-mazhab yang jadi sumber konflik ketimbang Islam yang membebaskan. Maka tak salah bila Syekh Siti Jenar menyatakan bahwa mazhab telah menjadi mezbah bagi sesama Muslim.

Namun demikian, istilah “Islam Indonesia” ini juga sering disalahpahami dan ditentang oleh sekelompok kalangan, terutama yang merasa “Islam” itu konsep abstrak yang tidak terkait dengan ruang dan waktu tertentu. Meski paham ini ada benarnya dan memang demikian adanya, tapi dalam kenyataannya, selain wahyu yang turun kepada Nabi, barangkali tidak ada “Islam” murni itu. Yang ada dan nyata bergerak dalam sejarah manusia adalah “Islam” hasil tafsir individu yang terikat dengan situasi dan kondisi ruang dan waktu tertentu.

Untuk menjelaskan lebih jauh soal ini, Islam Indonesia kembali menurunkan hasil wawancara BBC Indonesia dengan cendekiawan Muslim Indonesia terkemuka, Prof. Azyumardi Azra, 21 Mei Silam. 

Apa yang Anda khawatirkan dengan menggejalanya radikalisasi di kalangan anak muda belakangan ini?

Memang ada gejala radikalisasi terutama karena proses globalisasi. Ada proses penyebaran paham dan gerakan transnasional yang radikal dalam berbagai bentuknya. Mulai yang soft (lunak) sampai yang lebih keras.

Tetapi spektrumnya cukup luas. Ada yang cuma radikal dalam pengertian wacana yang biasa disebut Salafi-Wahabi. Mulai dari Salafi Wahabi lebih lunak, hanya pada tingkat ajaran atau wacana, tapi tidak dalam gerakan. Tapi juga ada yang sangat keras, ekstrem radikal dan tidak segan melakukan kekerasan atau terorisme.

Cuma saya melihat, dalam watak Islam Indonesia, sesungguhnya bahaya kelompok garis keras tidak sebesar dibayangkan oleh banyak kalangan.

Ada kalangan yang melihat seolah-olah dengan penyebaran radikalisme itu, kemudian seolah-olah Islam Indonesia itu akan kiamat; menjadi radikal semua dan Indonesia kemudian berubah menjadi negara Islam atau negara Syariah, bahkan menjadi negara gagal, karena adanya kelompok-kelompok radikal yang mengacau, melakukan tindakan teror.

Memang kita harus waspadai ada penyebaran paham radikalisme, tetapi saya kira Islam Indonesia beda dengan Islam di Pakistan, Arab Saudi, atau Mesir.

Biasa kita sebut Islam Nusantara, atau Islam Indonesia, yang dalam refleksi atau ekspresi budayanya itu memang lebih akomodatif. Saya sering menyebut Islam yang berbunga-bunga (flowery Islam), karena Islam itu berpadu embeddeddengan berbagai kegiatan sosial keagamaan yang tidak ada di negeri lain.

Sehingga kemudian saya menyebut Islam Indonesia yang inklusif, moderat, wasatiyah, yang berada di tengah-tengah, terlalu besar untuk bisa dikalahkan.

Bagaimana mungkin ada kelompok radikal bisa mengubah NU, Muhammadiyah, itu tidak mungkin. Itu bisa dibilang kemustahilan, karena ormas Islam wasatiyah ini memiliki aset yang begitu besar, punya lembaga yang begitu besar di seluruh nusantara.

Mereka begitu kaya dengan sekolah Islam, misalnya. Kalau Muhammadiyah dari TK sampai perguruan tinggi, dan jumlah 30 ribu lebih. Kemudian di lingkungan para kiai NU kemungkinan memiliki pesantren 25 ribu lebih.

Belum lagi ormas-ormas seperti Al Washliyah di Sumatra Utara yang juga memiliki banyak sekolah dan perguruan tinggi, Mathla’ul Anwar di Banten, kemudian PUI dan Persis di Jabar dan Persis, juga memiliki madrasah. Juga Nahdlatul Wathan di NTB yang semua mengajarkan paham wasatiyah.

Memang ada infiltrasi ke NU atau Muhammadiyah. Infiltrasi orang-orang yang menolak praktik-praktik yang banyak dilakukan oleh banyak kaum muslimim seperti Maulud Nabi, tahlilan, walimah-walimah, ziarah kubur.

Memang ada kalangan satu atau anggota NU atau Muhammadiyah yang terpengaruh, tapi jumlah mereka terlalu kecil untuk mengubah Islam wasatiyah Indonesia.

Dan lagi pula, Islam wasatiyah Indonesia menghadapi tantangan radikalisasi itu bukan sesuatu hal yang baru. Dan sepanjang sejarahnya mereka tidak tergoyahkan.

Tadi Anda mengatakan, kita harus mewaspadai penyebaran paham radikal. Sejauh pengetahuan Anda, seperti apa penyebaran itu?

Ada infiltrasi ke NU, Muhammadiyah, mencoba memasuki atau menginfiltrasi masjid-masjid mereka, lembaga pendidikan mereka.

Begitu juga banyak penelitian yang mengindikasikan adanya inflitrasi ke sekolah-sekolah, merekrut anak muda, atau mengubah cara pandang anak muda menjadi lebih radikal atau hitam putih.

Cuma, saya tidak tahu berapa banyak murid yang bisa terpengaruh. Ini tingkat SMA. Putri saya sendiri menceritakan kepada saya mengenai pola gurunya yang sektarian, yang menganggap bahwa pemahaman miliknya paling benar. Putri saya bercerita dan menunjukkan sejumlah pesan pendek (sms). Nah, saya laporkan kepada ketua yayasan, seorang profesor yang juga profesor universitas negeri di Jakarta

Saya bilang ini harus ditertibkan. Kalau dibiarkan maka tidak mungkin satu atau dua muridnya terpengaruh.

Jadi ini aktual dan riil usaha-usaha oleh beberapa guru untuk mengubah cara pandang pemikiran keislaman murid di tingkat SMA dari yang bersifat wasatiyah – karena lahir dan besar di lingkungan Islam moderat dan inklusif – untuk diubah menjadi salafi dan kemudian sangat sektarian.

Cuma saya kira, ada satu dua murid mungkin terpengaruh, tetapi umumnya tidak. Jadi, ini harus kita waspadai walaupun kecil, termasuk melalui entry point yang lain.

Karena itu saya berulang kali mengusulkan kepada Menteri Agama atau Mendikbud supaya para guru ditatar dan diberikan sarasehan mengenai keislaman keindonesiaan, kepaduan atau integrasi antara keislaman dan keindonesiaan.

Karena, mereka tidak memiliki perspektif yang jelas mengenai keindonesiaan dan keislaman, yang sesungguhnya terintegrasi. Jadi tidak perlu dipertentangkan sebagai dua entitas yang bertentangan.

Nah, satu atau dua guru mempertentangkan dua entitas itu; bahwa kita ini jangan dikotak-kotakkan oleh bangsa, oleh negara, kita ini umat Islam sedunia yang bersatu dibawah Ukhuwah Islamiyah sehingga perlu mendirkan khilafah. Ya argumen seperti itulah.

Karena itulah, ini saya kira program mendesak untuk diselenggarakan oleh Dikbud dan kementerian agama untuk melakukan simposium, sarasehan, melakukan percakapan keislaman keindonesiaan, dalam rangka memperkokoh integrasi keindonesiaan keislaman.

Apa yang dialami putri Anda tentu kemungkinan juga dialami sebagian murid-murid di sekolah lain yang sebagian gurunya melakukan hal serupa?

Saya kira ya, dan itu muncul dari waktu ke waktu. Misalnya ketika pemilu presiden 2014 lalu, ketika Prabowo bertarung dengan Jokowi, digunakan isu sektarian agama untuk melawan Jokowi demi mempromosikan Prabowo. Ini ‘kan tidak benar.

Dan ini dilakukan di sekolah. Saya kira yang saya alami bukan hanya saya, karena itu terbuka di dalam kelas. Jadi murid-murid mendengar semua tetapi tidak berani bersuara karena takut atau sungkan.

Dari gambaran seperti ini, apa yang menjadi kesulitan pemerintah sehingga mereka terkesan mendiamkan, acuh. Di mana letak masalahnya sehingga pemerintah tidak bisa melakukan tindakan kongkrit padahal praktik seperti itu merupakan ancaman?

Saya kira menteri agama, mendikdub sudah tahu gejala seperti itu, karena ini bukan suatu yang baru ada infiltrasi itu, mereka juga tahu. Cuma saya kira tidak ada kesungguhan dalam melakukan program untuk memperkuat keislaman keindonesiaan. Tidak ada program itu.

Kalau kita bilang, mereka bilang ya, tetapi tidak mereka lakukan. Mereka bilang bagus, tetapi tidak dilakukan. Saya tidak tahu apa penyebabnya. Kalau soal dana tidak ada masalah, tinggal mengeluarkan instruksi dan penyediaan dana, dan bahkan saya kira juga sekolah atau madrasah bisa diperintahkan untuk membuat anggaran untuk membuat kegiatan. Tidak harus anggarannya dari pusat. Cuma tidak serius saja.

Apakah tidak adanya perangkat hukum juga yang melatari pemerintah sehingga terkesan tidak bisa menghentikan semua itu?

Kalau untuk menghentikan itu dengan menggunakan perangkat hukum jelas nggak bisa, karena perangkat hukum kita belum menjangkau, misalnya orang yang berwacana mengenai paham radikal atau aksi radikal. Nggak tahu dalam perubahan UU anti terorisme, apakah orang yang berwacana juga bisa ditangkap.

Kalau di negara lain, baik berwacana atau menyimpan literatur tentang hal-hal berbau radikal atau terorisme, bisa ditangkap. Tapi di Indonesia belum. Tapi bukan tidak mungkin bisa dilakukan. Tindakan persuasif atau edukatif bisa dilakukan.

Di sini, saya kira harus mulai dari tingkat sekolah. Jadi kepala sekolah harus melihat itu dan mendengar laporan dari orang tua murid. Dan juga kalau dia swasta, pengurus yayasannya harus mewaspadai ini. Dan ketika ada laporan melakukan tindakan seperlunya.

Misalnya, dalam bentuk peringatan kepada guru yang bersangkutan. Sekali dua kali, tapi tetap juga, kalau perlu dikeluarkan sebagai guru, karena dia akan menjadi virus-virus yang merusak.

Meskipun kerangka hukum kita belum bisa menjangkau, tapi bukan tidak ada hal yang bisa dilakukan. Kalau guru PNS, lebih muda lagi. Lagi-lagi kepala sekolah yang menertibkannya.

Bisa dengan nasihat lebih dulu. Sekali dua kali, kalau tidak bisa ya dilaporkan kepada orang di atasnya, apakah kepala dinas dan seterusnya. Bahkan bisa dilaporkan ke Menteri agam atau Mendikbud, atau kepada badan kepegawaian negara.

Karena, pada dasarnya PNS itu tidak boleh memegangi apalagi menyebarkan dan melakukan tindakan yang tidak sesuai ideologi negara. Ini jelas. PNS harus setia kepada Pancasila, NKRI.

Tapi kalau PNS menyebarkan hal yang tidak sesuai dengan Pancasila, NKRI, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, empat prinsip itu, saya kira harus diambil tindakan.

Cuma saja, belum kita dengar tindakan itu dilakukan instansi yang berwenang untuk menertibkan para PNS yang punya pikiran, punya gerakan yang ‘aneh-aneh’ yang tidak sesuai Pancasila atau NKRI.

Apakah Anda juga melihat ketidaksungguhan pemerintah itu tidak terlepas dari cara pandang terhadap persoalan hubungan antara negara dan Islam yang dianggap belum selesai?

Saya kira lebih karena faktor nggak serius. Mereka sadar bahwa itu tidak cocok. Tidak sesuai dan bisa berbahaya bagi NKRI. Tapi tidak ada kesungguhan untuk melakukan pencegahan, dan saya kira ini kaitannya dengan koordinasi yang lemah antara instansi pemerintah.

Mereka menganggap seolah-olah persoalan radikalisme dan terorisme itu bisa diselesaikan oleh polisi, Densus 88 atau BNPT. Kalau BNPT dan Densus 88 lebih menangani akhir, ujung dari proses itu. Tapi awal prosesnya itu yang tidak ditangani.

Saya kira BNPT dan Densus 88 enggak masuk ke seolah di mana terjadi proses rekrutmen atau proses radikalisasi. Dan itu memang harus ditangani instansi berwenang, dalam hal ini Kementerian Dikbud dan Kementerian Agama.

Saya kira persepsi seperti ini harus diluruskan. Jangan menyerahkan semua masalah kepada BNPT dan Densus 88. Karena dua lembaga ini menangani akhir proses, ketika paham radikal itu diwujudkan dalam tindakan kekerasan, pemboman.

Bagaimana tanggapan Anda ketika ada pernyataan bahwa sikap pemerintah seperti itu tidak terlepas dari kebijakan akomodatif pemerintah terhadap Islam moderat dan radikal untuk kepentingan kelanggengan kekuasaan mereka?

Untuk masa Presiden Jokowi, kelihatannya berkurang. Karena juga memang eksplosi gerakan-gerakan radikal dalam bentuk kekerasan, itu kurang. Kita bersyukur satu kejadian selama Jokowi hanya pemboman di belakang Sarinah selama hampir dua tahun dia memerintah.

Bahkan selama 5 tahun terakhir, termasuk masa pemerintahan SBY selama tiga tahun dan Jokowi dua tahun, itu memang tidak ada kejadian terlalu besar di Inmdonesia, kecuali di Srainah itu.

Tapi saya kira tindakan yang menoleransi, atau seolah merestui, itu memang merajalela pada masa Presiden SBY, terutama masa keduanya, 2009-2014, baik di tingkat kementerian atau pemerintahan daerah.

Seringkali para pejabat, termasuk Presiden SBY, memberikan pesan yang keliru kepada publik ketika mengakomodasi, meng-entertainment, menerima pimpinan kelompok -kelompok radikal.

Misalnya, Presiden SBY pernah menerima Rizieq Shihab di Istana didampingi Gubernur DKI saat itu Fauzi Bowo. Padahal FPI melakukan tindakan kekerasan di mana-mana, termasuk di Tanjung Priok dan Monas, tapi kok seolah dibentangkan karpet merah oleh Presiden.

Kemudian Mendagri, Gamawan Fauzi, juga menerima FPI, padahal kaca-kaca Kemendagri pecah karena dilempari dalam demo FPI.

Banyaklah kasus-kasus seperti itu, yang memberikan pesan yang salah seolah-olah merestui kelompok radikal seperti itu. Ini jelas keliru.

Saya kira pemerintah harus bersikap tegas, tidak memberikan isyarat-isyarat yang keliru.

Saya juga pernah mengkritik Presiden SBY yang meresmikan gedung sebuah kelompok radikal salafi di Yogyakarta, namanya MTA (Majelis Tafsir Al-quran) yang radionya itu cuma mencerca muslimin yang lain, terutama warga Nadhliyin yang sering melakukan praktek-praktek yang mereka sebut bid’ah, karena MTA menerapkan Islam yang murni (salafi).

Tapi kok gedungnya diresmikan oleh Presiden SBY. Itu ‘kan seolah-olah merestui paham-paham yang tidak toleran seperti itu.

Tapi saya lihat di masa Presiden Jokowi ini agak sedikit berubah ya. Saya kira Mendagrinya lebih tegas, karena dia mungkin latar belakangnya dari PDI-P. Kita lihat juga di DKI, ada (Gubernur) Ahok juga keras mengeluarkan pernyataan.

Misalnya kalau ada kelompok-kelompok radikal yang macam-macam di Jakarta, dia mengatakan ‘akan menindaknya, tidak ada ampun’. Jadi tegas dia.

Nah oleh karena itu, kita lihat juga berkuranglah merajalelanya kelompok-kelompok radikal di Jakarta.

Jadi, ini memang kuncinya dari aparat pemerintah, mulai dari presiden, menteri sampai gubernur, wali kota dan bupati. Kalau pejabat-pejabat ini mengakomodasi, saya kira mereka akan merajalela, seolah mendapat pengakuan.

Karena itu, penting sekali bersikap tegas, walaupun kita ingatkan bahwa jangan sampai melanggar hak asasi mereka. HAM mereka tetap harus dilindungi, tetapi di saat yang sama jangan melakukan tindakan yang seolah-olah merestui kekerasan.

Sekarang ini sering muncul istilah Wahabi di masyarakat, tetapi kelompok-kelompok yang dicap sebagai pengusung aliran Wahabi menolak label seperti itu. Mereka menganggap aliran Wahabi adalah bagian dari masa lalu. Nah, ketika muncul gerakan puritan dan ada pelabelan Wahabi terhadap gerakan seperti itu, bagaimana Anda memandangnya?

Itulah, ini mendukung argumen saya bahwa Islam moderat di Indonesia terlalu besar untuk gagal. Karena apa? Meskipun ada orang-orang yang aktif menyebarkan paham Wahabi, tapi istilah Wahabi itu sendiri adalah anatema di banyak kalangan Muslim Indonesia. Anatema itu artinya lebih dari sekedar jorok.

Karena itulah, kalau ada orang yang berusaha menyebarkan paham Wahabi, tetapi dia menolak disebut Wahabi, itu karena memang kalau dia disebut Wahabi, itu ya lebih dari jorok.

Kenapa istilah Wahabi itu dianggap jorok bagi sebagian besar Islam Indonesia, karena Islam Wahabi itu terlalu kering, terlalu sederhana, dan terlalu primitif bagi orang Islam Indonesia umumnya.

Sementara orang Islam Indonesia senang mengamalkan Islam yang banyak tambahan-tambahan, yang dicap bi’dah oleh orang Wahabi, mulai tahlilan, maulud nabi, ziarah kubur, tujuh bulanan kehamilan. Itu semua ditolak oleh Wahabi.

Jadi, orang Islam Indonesia, sering saya katakan, agak sedikit berseloroh ya, tidak bisa hidup tanpa kuburan, tanpa batu nisan. Kalau ada yang meninggal, pasti diberi kuburan dan batu nisan. Beda dengan Wahabi yang tidak ada batu nisannya.

Sekarang di Arab Saudi, hanya ada tiga kuburan tiga orang di dalam masjid Nabawi, yaitu makamnya Rasulullah, Sayidina Abubakar dan Sayidina Umar. Itu saja. Kalau ada raja (Arab Saudi) meninggal, ya dikubur di tempat tertentu, tapi tidak diberi batu nisan.

Jadi orang Islam Indonesia tidak bisa seperti ini. Karena itu bertentangan dengan karakter kaum Muslimin Indonesia. Hal-hal seperti itu tidak mungkin. Tidak bisa dibayangkan bahwa kalau keluarganya atau orang tuanya meninggal, tanpa batu nisan, enggak mungkin.

Berbeda dengan kaum Muslimin Arab Saudi, orang Islam Indonesia tidak bisa hidup tanpa batu nisan. Itu contohnya. Makanya, bisa dipahami istilah Wahabi itu menjadi anatema bagi kebanyakan kaum Muslimin di Indonesia.

Dan karena itu, meskipun ada lembaga atau orang-orang yang berusaha mengembangkan paham Wahabi, itu saya kira tidak menarik dan bahkan ditolak oleh Muslim Indonesia secara terbuka atau diam.

Islam Indonesia senang melakukan kegiatan keagamaan sosial, seperti selametan,tasyakuran, baca yasin, yang tidak terakomodasi atau ditolak oleh Wahabi.

Dahulu sepertinya kebanyakan orang mendiamkan ketika ada upaya penyebaran paham Wahabi, tapi belakangan ada counter balik dengan mensosialisasikan istilah yang disebut Islam Nusantara. Apakah langkah ini efektif untuk menahan laju penyebaran paham Wahabi?

Dalam batas-batas tertentu, saya kira cukup efektif, karena ada resistensi dari masyarakat lokal terhadap tindakan radikalisasi dan terorisme. Kita tahu, di banyak kasus teroris yang ditembak mati oleh Densus 88 kemudian ditolak oleh masyarakat setempat untuk dikubur di kampungna. Walaupun ada satu-dua yang menerimanya. Kemudian juga ada penolakan terhadap Wahabi dan sebagainya.

Jadi, saya kira kontra wacana itu baik dan bagus. Ini menunjukkan ada kewaspadaaan dan ketahanan masyarakat lokal.

Cuma kita ingatkan, boleh ada penokalan, tapi jangan terjerumus aksi kekerasan. Karena kalau tidak diingatkan, bukan tidak mungkin penolakan itu ada aksi kekerasan, misalnya ada masjid yang menjadi pusat penyebaran Salafisme atau Wahabisme, lantas diserbu atau dibakar.

Memang sejauh ini belum terjadi, tapi penting kita ingatkan jangan ada kekerasan. Paham kekerasan jangan dibalas dengan aksi kekerasan – nanti menimbulkan kekacauan.

Di titik mana bahwa penyebaran Wahabi saat ini bisa dibuktikan berlangsung atau dilakukan secara sistematis?

Tidak terlalu sistematis juga. Kita tahu bahwa di Indonesia ada dai-dai yang dibayar gajinya secara bulanan oleh pemerintah Arab Saudi.

Apakah itu riil?

Itu riil. Jadi mereka yang alumni Arab Saudi menjadi dai pemerintah Arab Saudi itu mendapat gaji bulanan. Walaupun tidak seluruh alumni Arab Saudi ini diangkat menjadi dai. Karena, saya kira, mereka melihat apakah alumni tersebut menerima atau menganut wahabi atau tidak.

Jadi ada alumni Saudi tidak menjadi dai, dan mereka tetap menganut paham Islam nusantara. Misalnya Ketua PBNU, Said Agil Siradj. Dia alumni Saudi, tetapi tetap kritis terhadap Wahabi.

Kalau mereka bisa berdakwa, saya kira, mereka berdakwa di masjid-masjid yang memang pengurus masjidnya punya kecenderungan menjalankan paham salafi. Jadi mereka cenderung terlepas, tidak nyantol ke institusi tertentu.

Bagaimana Anda menafsirkan pernyataan Ketua PBNU Said Agil Siradj yang menyatakan bahwa ajaran Wahabi itu dua digit di bawah terorisme?

Memang pahamnya radikal, bisa bergeser ya. Kalau disebut dua digit bisa juga. Karena memang presedennya ada. Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri paham Wahabi atau tokoh yang namanya dipakai sebagai nama gerakan di akhir abad 18, itu memang disebut dua digit, saya kira jangan-jangan cuma satu digit.

Karena, saya baca sejarahnya berdasarkan sumber-sumber Arab, ketika pasukan Wahabi yang didukung oleh Raja Najeb, Ibnu Saud, menyerbu Makkah, digambarkan Makkah itu berdarah-darah, banjir darah disebutkan. Karena siapapun yang menolak paham Wahabi langsung ditebas lehernya. Jadi memang keras. Itu membikin bulu roma kita bergidik membaca sejarahnya.

Memang sangat mudah sangat tergelinjir ke terorisme, radikalisme. Karena pahamnya tidak memberikan tempat bagi toleransi dan akomodasi paham yang berbeda dengan mereka. Dan presedennya ada.

Nah, di Indonesia juga pernah ada seperti itu, yaitu gerakan Paderi di Minangkabau. Juga pada akhir abad 19 awal abad 20, terutama tiga orang haji pulang dari Makkah, waktu ketika Wahabi sudah diusir dari Makkah dan Madinah, tetapi mereka menyaksikan sisa-sisa kekerasan oleh Wahabi.

Nah itulah yang mereka lakukannya juga di Sumatra Barat dengan gerakan Paderi, yaitu memurnikan Islam dari campuran praktik atau adat Minang, melakukan tebas leher kalau ada yang tidak sepakat.

Tapi kemudian tidak berhasil, karena saya kira itu satu-satunya preseden gerakan model Wahabi di Indonesia, karena tidak berhasil, karena tidak cocok dengan watak umum orang Indonesia.

Setelah periode perang Paderi, apakah paham Wahabi tetap menyebar ke Indonesia, meskipun ada penyesuaian atau akulturasi dengan situasi lokal Indonesia?

Sesungguhnya menurun setelah perang Paderi dan pengusiran oleh pasukan Muhammad Ali Pasha, tapi kemudian bangkit lagi pafa tahun 1920-an, ketika kekuasaan Wahabi-Saudi bangkit lagi dan kembali menguasai Makkah dan Madinah, dan puncaknya 1924.

Ketika itulah, kaum Muslimin Indonesia merasa ini ‘gawat kalau begini’, sehingga para ulama Indonesia membentuk Komite Hijaz, yang terdiri Muhammadiyah dan kiai-kiai dari pesantren, pada 1924.

Nah mereka mengirim utusan ke Makkah dan Madinah, meminta kepada penguasa baru di Hijaz supaya jangan memaksakan paham Wahabi. Supaya melindungi situs-situs sejarah, karena pada tahun 1920-an dan puncaknya pada tahun 1924, barisan Wahabi itu kembali bisa menguasai Makkah dan Madinah.

Para ulama Indonesia itu merasa bahwa perkembangan ini membahayakan, karena itu mereka membentuk komite Hijaz, menuntut kepada penguasa Hijaz supaya melindungi paham dan praktik keislaman non wahabi terutama dari Nusantara.

Hasilnya, mereka mendengarkan, sehingga tidak terjadi penggusuran paham non-Wahabi. Para jamah haji tetap bisa mempraktekkan Islam yang oleh Wahabi dianggap tidak murni. Misalnya, mengajarkan tasawuf, mengajarkan tarekat, itu tetap masih ada.

Baru kemudian, pemerintah Saudi berhasil menggusur praktik Islam Nusantara mulai akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an, ketika pemerintah Saudi, yang sudah punya banyak duit, kemudian melakukan nasionalisasi terhadap lembaga pendidikan islam, termasuk sebuah madrasah yang didirikan orang Indonesia, yaitu Madrasah Darul Ulum di Makkah.

Awal tahun 1980-an dinasionalisasi oleh pemerintah Saudi dan dijadikan negeri, kemudian pimpinannya Syeh Muhammad Yasin bin Isa Alpadani dipensiunkan. Dia berasal dari Padang dan menjadi kepala sekolahnya.

Madrasah ini sebelumnya mempunyai peranan yang besar di dalam pengembangan pemahaman dan praktik Islam Nusantara, tapi kemudian ditutup oleh pemerintah Saudi.

Sejak saat itulah, saya kira, tidak ada lagi lokus bagi paham keislaman non wahabi untuk berkembang di Saudi, termasuk halakah-halakah yang ada di masjid haram atau nabawi yang dipimpin kiai atau syeh dari Indonesia, itu sudah ditutup.

Jadi, terjadilah penyeragaman pemahaman keagaman di Saudi yaitu menjadi paham Wahabi sejak tahun 1980-an.

Ketika terjadi penyeragaman penyebaran aliran Wahabi, apa dampaknya terhadap perkembangan Wahabi di Indonesia saat itu?

Saya kira tidak banyak. Memang ada gelombang pada tahun 1980an, pemerintah Saudi sangat giat menyebarkan literatur-literatur Wahabi.

Misalnya, karya-karya buku Muhamad bin Abdul Wahab atau guru-gurunya. Atau karya-karya Ibnu Taimiyah, yang dipandang sebagai asal muasal dari paham Wahabi yang menekankan pemurnian dsb.

Jadi literatur seperti itulah disediakan dalam terjemahan bahasa Indonesia dan disebarkan kemana-mana, walaupun demikian saya kira pengaruhnya tidak signifikan. Karena di Indonesia memiliki tradisi keilmuan yang cukup terbuka. Jadi, buku-buku itu dibaca, tetapi tidak terpengaruh banyak.

Tapi buku-buku itu tidak bisa masuk ke pesantren-pesantren. Karena itu, tidak cocok dengan pesantren.

Itulah sebabnya, kitab karya Muhammad bin Abdul Wahab atau Ibnu Taimiyah tidak dianggap bagian kitab kuning, tidak dianggap bagian dari literatur klasik yang harus dipelajari para santri. Jadi tidak sampai tersebar ke pesantren, dan itu biasanya ditaruh di masjid-masjid.

Antara rentang waktu penyebaran literatur aliran Wahabi dan kemunculan gerakan penyebaran aliran Wahabi belakangan ini, apa yang bisa Anda katakan?

Mereka terus menyebarkan (ajaran WahabI). Lembaga Saudi atau pemerintah Saudi melalui berbagai dai yang digaji terus berusaha. Tetapi saya melihat bahwa mereka memperoleh pendukung yang signifikan.

Tidak banyak orang Muslim Indonesia yang mengadopsi paham Wahabi. Tidak ada gejalan seperti itu.

Walaupun demikian, saya kira masalah Wahabi semakin ramai di Indonesia, terutama dalam konteks konstestasi dengan Iran, dengan Syiah.

Karena pada awal tahun 1980-an, setelah keberhasilan Revolusi Ayatullah Khomeini pada 1979, Iran juga sangat giat menyebarkan paham Syiah ke Indonesia. Mendirikan berbagai lembaga misalnya kajian tentang Syiah, lembaga penyebaran Syiah, dan lain-lain.

Dan kemudian Arab Saudi, yang secara tradisional bermusuhan dengan Iran, melihat upaya penyebaran Syiah di Indonesia juga sangat berbahaya.

Maka kemudian muncullah bibit-bibit konflik antara Suni dan Syiah, yang kemudian di belakangnya itu Saudi dan Iran.

Apalagi pada masa tahun 2000 dan 2001, peristiwa 11 September, meningkatnya ketegangan, Iran mendapat sanksi, kemudian pertarungan untuk mendapatkan dominasi dan hegemoni terus berlanjut di Timur Tengah, di antara negara-negara Arab.

Inilah yang mempertinggi, meningkatkan eskalasi di antara kalangan Suni ekstrim di Indonesia yang cenderung Wahabi dengan para pendukung Syiah.

Dan seringkali juga konflik Suni-Syiah di Indonesia, saya sering menyebutnya konflik internal di antara ahlul bait. Ada ahlul yang sangat Suni dan Salafi-Wahabi, tapi juga ada kalangan Ahlul Bait yang pro-Syiih, atau juga bisa disebut Syiah.

Nah mereka inilah sebetulnya terlibat konflik. Kalau kita melihat kasus pelemparan batu di Bangil terhadap pesantren yang dianggap Syiah, itu konflik diantara kelompok Ahlul Bait

Juga kalau kita lacak apa yang terjadi di Sampang, Madura, itu juga punya kaitan dengan ini.

Karena itulah, saya sering mengingatkan dengan mengatakan secara terbuka, bahwa kaum Muslim Indonesia harus sadar, harus waspada, harus hati-hati, jangan menjadi agen dari Saudi, atau agen dari Iran, untuk menciptakan proxy wardi Indonesia.

Mereka konfliknya di Timur Tengah, tetapi malah kemudian kekerasannya di Indonesia. Itulah proxy war. Itu berbahaya kalau terjadi seperti itu.

 

Edy/IslamIndonesia/Sumber: bbc.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *