Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 27 March 2016

BLOG – Kisah Perempuan Arab Saudi di Iran (1)


Pengantar Redaksi: Tulisan berikut bersumber dari blog “saudiiniran“. Isinya merangkum kisah keseharian penulisnya, Sara Masry, seorang peneliti perempuan asal Arab Saudi, selama menetap dan belajar di sebuah universitas di Tehran, Iran, dalam 10 bulan terakhir. Redaksi Islam Indonesia memilih menayangkannya secara berseri untuk menghadirkan perspektif baru di tengah keterbelahan dunia Islam dan pekatnya iklim prasangka, kebencian dan stereotip yang mengiringi perseteruan Arab Saudi vs Iran ihwal sebab musabah Tragedi Mina.

* * *

Jalan Tengah

Ketika saya memutuskan untuk memulai blog ini beberapa bulan lalu, atas dasar alasan yang objektif, saya sengaja tetap fokus pada soal sosial-budaya (Iran), tanpa menyentuh isu sensitif geo-politik yang mungkin akan mengaburkan pesan yang ingin saya sampaikan. Bagaimanapun, pasca tragedi yang terjadi di Mina bulan lalu, apalagi dengan latar belakang ketegangan dan iklim politik yang sejujurnya menakutkan, saya merasa ada sesuatu yang seharusnya disampaikan dan blog ini memberi wadah yang pas.

Peristiwa ini sangat tidak mendukung bagi mereka yang memimpikan kedamaian di kawasan. Perbincangan dan retorika tentang ‘perpecahan’ Saudi-Iran kian tajam dan nyata. Bagi warga Iran,  tidak sedikit yang menganggap pemerintahan Saudi, yang entah bagaimana, telah menyasar orang-orang Iran (sehubungan dengan banyaknya korban jiwa dari Iran). Saudi juga dianggap gagal dalam menanggulangi korban pasca tragedi di Mina. Sebaliknya, banyak warga Saudi yang percaya, dan meyakinkan yang lainnya, bahwa ada keterlibatan elit Iran dalam merekayasa terjadinya kerumunan sehingga terjadi desak-desakan dan pergolakan yang menghebohkan itu. Rekayasa itu ditujukan agar otoritas Saudi sebagai pengelola ‘haramain’ diragukan kapasitasnya.

Apa yang menjadi mendasar bagi kedua sudut padang tersebut ialah adanya bencana kemanusiaan yang nyata. Tidak sedikit korban kehilangan nyawa atau kehilangan orang yang dicintai dalam sebuah perjalanan spritual yang sangat bernilai bagi seorang Muslim. Saling menyalahkan dan mempertontonkan retorika hanya bisa memperburuk kepedihan bagi orang-orang yang berduka pada saat-saat sensitif ini. Belum lagi, adanya pihak lain yang sedang mempolarisasi dua kutub bahkan lebih jauh lagi, meyenangkan kelompok garis keras, sambil (seolah) mendorong saling pengertian dan empati. Bencana ini tidak bisa dan tidak seharusnya diremehkan mengingat apa yang dipertaruhkan dalam skala luas bagi kawasan dan penduduknya.

Saya telah meninggalkan Iran segera setelah tragedi 24 September yang mengenaskan itu untuk sebuah konferensi. Saat yang genting itulah saya diminta atau dimohon oleh ibu saya untuk tidak kembali lagi (ke Iran) demi keamanan. Dia membayangkan bahwa negara itu penuh dengan massa yang saling bahu-membahu untuk satu tujuan; menjatuhkan dan menyerang warga Saudi. Belum lagi, gambaran demonstrasi anti-Saudi di luar kedutaan yang ada di Tehran diikuti dengan tajamnya pernyataan kedua pemerintahan terhadap satu sama lain. Dengan tenang, saya menentramkan hati ibu saya sebagaimana saya melakukannya pada para kerabat dan teman yang mengkhawatirkan saya. Dan terlepas apa yang dikatakan oleh media (termasuk media yang senantiasa memperuncing ketegangan), saya tidak berharap peristiwa teranyar ini secara fundamental mengubah apa yang saya alami dan temukan di Iran. Demikian pula saat saya telah kembali (ke Saudi).

Saya mengakui, dalam perjalanan kembali, petugas imigrasi memeriksa paspor saya yang lebih lama dari umumnya. Dia juga bertanya banyak hal pada saya dengan wajah yang tidak bersahabat. Meski demikian, ketika saya menjelaskan topik penelitian saya (Studi tentang Iran), wajahnya tersenyum lebar seakan mengetahui minat (tujuan penelitian) saya pada negerinya. Sambil membubuhkan stempel pada paspor saya, ia mendoakan saya agar meraih kesuksesan. Saya telah tinggal di Iran selama sembilan bulan, dan pengalaman saya tentang mayoritas orang yang saya temui adalah bahwa warga (di Tehran dan sekitarnya) mampu membedakan antara masalah politik dan individu dengan cara yang unik atau berbeda dari orang-orang Timur Tengah lainnya. Tidak seorang pun yang saya temui mempedulikan identitas saya sebagai orang Saudi. Sebagaimana tidak seorang pun dari mereka yang peduli dengan mazhab saya yang Suni. Tentunya adapula yang menaruh perhatian yang diikuti oleh sejumlah pertanyaan. Ini bukan seolah-olah saya memegang plakat besar mengumumkan bahwa saya orang Saudi. Sebagaimana pada artikel sebelumnya, saya berbaur seperti orang Arab lainnya supaya dikira orang Iran, dan begitu pula sebaliknya.

Ketika seseorang mendengar logat saya yang janggal, sebagaimana biasanya, ia mengira saya orang India (dimana-mana saya mengalaminya) hingga ia tahu darimana saya sesungguhnya berasal. Selanjutnya, penasaran dan pertanyaan aneh pun dimulai. Saya tidak mengklaim bahwa orang-orang garis keras atau fanatisme tidak ada. Saya juga tidak mencoba mengklaim bahwa pengalaman orang-orang Saudi lainnya yang menetap atau berkunjung ke sini, sama dengan yang saya alami. Semua yang saya ceritakan ini semata tanggapan pribadi saya dan apa yang telah saya pahami tentang orang-orang Iran; dan mengingat relatif langkanya warga Saudi di sini, saya kira pengalaman saya ini contoh yang baik — sepanjang warga Saudi lainnya, yang kita asumsikan juga menetap di Tehran, tidak datang ke blog ini untuk mengumbar prasangka atau pandangan ekstrim mereka. Seorang tidak bisa main pukul rata dan serampangan memberikan label pada populasi yang jumlahnya 80 juta kepala, demikian pula seorang tidak bisa melakukan yang sama pada populasi dengan jumlah 19 juta kepala.

Ada contoh lain yang saya kira relevan dengan masalah ini. Kemarin, ketika saya membeli roti di toko kampus, teman baik saya bercanda pada kasir: Jangan melayaninya, dia orang Saudi”. Sementara saya, secara pribadi tahu bahwa karakter teman saya itu tidak seperti yang ditunjukkan oleh candaannya itu.  Setelah dia pergi, sang kasir – wanita cantik dan baik – menghabiskan lima menit berbincang bersamaku hanya untuk memastikan saya tidak tersinggung, tersakiti atau kecewa dengan komentar teman saya itu. Wanita itu mengatakan bahwa kata-kata seperti itu tidak memiliki tempat disini, tidak peduli apapun konteks dan motifnya.

Masyarakat awam tidak mencampuri urusan politik para elit. Mereka tidak mencari-cari mana yang harus dipersalahkan. Kebanyakan dari mereka mengurusi rutinitas kehidupan harian, sebagian memang benar-benar berduka (dengan apa yang sedang terjadi), dan sebagian lagi penasaran; akankah kawasan bisa bangkit dari keterpurukan, sebagaimana yang saya harapkan juga. Blog ini, sampai sekarang telah berusaha mengangkat kisah pengalaman saya sehari-hari dan memperlihatkan kebaikan yang saya saksikan dari dua orang asing dan kenalan sebagai orang Saudi yang tinggal di sini. Bukan karena saya berpikir bahwa kebaikan dan keramahan adalah suatu yang langkah di Iran. Ini lebih disebabkan oleh cara pandang yang merusak dalam mempersepsi “perang dingin” antara kedua negara sebagai pembenaran yang tidak masuk akal tentang adanya kebencian antara kedua warga negara. Saya telah mencoba berdasarkan pengalaman pribadi saya di sini – yang tentunya tidak semua termasuk di dalamnya, dapat menjadi contoh sempurna, dan masih ada sesuatu – yang perlu diklarifikasi.

Menurut pendapat saya, jika kita tidak ingin melihat kawasan ‘terbakar’, orang-orang dari negeri kita perlu memandang lebih moderat untuk mengurangi pernyataan yang merusak dan streotip yang begitu mudah ditebarkan. Mungkin ada yang berpendapat bahwa itu tidak ada hubungannya dengan kita, tetapi kenyataannya, ini dimulai dari setiap orang dimana manusia yang menghuni suatu negeri saling berhubungan dan berinteraksi. Secara umum, perlu ada kesadaran yang lebih dalam untuk mengurangi kebencian buta, prasangka, dan kategorisasi yang keliru.

Tentu saja ini berlaku bagi kedua belah pihak yang sedang ‘terpecah’. Andai kita bisa menyaksikan  hari ketika permusuhan tidak lagi merasuki Timur Tengah, dimana sikap ekstrimisme, sektarianisme, atau fanatisme dikucilkan dan dapat dihilangkan. Hari dimana misalnya, khatib yang radikal diusir ketika memfatwakan halalnya darah orang-orang Syiah dan para simpatisannya. Kedua komunitas, harus memastikan bahwa kita semua di Timur Tengah perlu menyadari tentang ‘jalan tengah’. Yang pasti, mereka yang menyadari itu ada di antara kami meskipun tidak vokal seperti lainnya. Jika kita menunggu membaiknya keadaan politik kawasan, pasti akan sangat terlambat. Untuk mulai bergerak maju, kita membutuhkan pikiran terbuka, saling mengasihi, dan berbagai bentuk kesadaran lainnya.

Mohon maaf jika ada yang kasar. Selanjutnya, saya akan kembali semaksimal mungkin pada masalah sosial-budaya.

Lebih lanjut, baca: Bagian Kedua, Bagian Ketiga, dan Bagian Keempat.

 

Edy/IslamIndonesia

2 responses to “BLOG – Kisah Perempuan Arab Saudi di Iran (1)”

  1. fuad says:

    Sara Masry, dibutuhkan cara berpikir seperti anda dimanapun manusia berada, karena cara berpikir seseorang sebagai modal dasar kedamaian hidup siapapun orangnya.

  2. mukti says:

    Semoga Allah menurunkan kedamaian di timur tengah, dan smg Allah tdk mncabut kedamaian Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *