Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 20 April 2016

OPINI–Senyampang Bunda Bersamamu


Islamindonesia.id–Senyampang Bunda Bersamamu

Senyampang Bunda masih ada, dan kau tetap diizinkan Allah hidup bersamanya hingga detik ini, bagaimana kalau kau hibur hati Bunda dengan bakti tulus sepenuh kerelaan hatimu? Layani apa yang menjadi keperluan kesehariannya, dengarkan baik-baik apa yang ingin Bunda sampaikan tak terkecuali apapun curhat-curhatnya. Gembirakan, kencang dan binarkan kembali kerut dan gurat wajah sepuh Bunda dengan meniupkan bahagia terlebih dahulu di relung terdalam hatinya, sekali lagi dengan pelayanan dan balas budi terbaikmu kepadanya.

Jangan sekalipun kau bantah apa kata Bunda, meski setinggi apa taraf pendidikanmu, sementereng dan sepanjang apa jejeran titel kesarjanaan di belakang namamu. Buatlah Bunda tenteram, yakinkan Bunda bahwa semua apa yang dikatakannya benar, pun jika dalam pandangan dan menurut pendapatmu sekali-kali Bunda tersalah. Maklumilah itu, tenangkan dirimu dengan cara menanamkan di dalam hatimu sebuah aturan baku: Bunda tak pernah salah memilih apa yang terbaik bagimu, dikarenakan cinta-kasih tulusnya yang tak tertandingi kepadamu, dibandingkan siapapun yang ada di dunia ini.

Sanggupkah kau tanggung derita jika Bunda berurai airmata, hanya karena gundahnya begitu lama tak bersua jantung hatinya—yaitu dirimu, yang sekian lama pergi dan tak segera kembali di dekatnya? Maka tunaikanlah apa yang menjadi kewajibanmu bagi dunia dan kehidupan, lalu segera kembalilah ke dekat Bunda. Usap airmatanya lalu bisikkan bahwa: seperti kasih tulus Bunda, sebesar itu pula cinta dan penghargaan tertinggimu kepadanya. Ya. Yakinkanlah Bunda bahwa dialah duniamu.

Jangan pernah kau berkata, buat apa kita harus sedemikian rupa menjaga hati Bunda. Tidak tersakiti, tidak tergores, tidak pula resah dan gundah sekejap pun boleh ada di sana. Hitung saja saat ini berapa usiamu, seberapa lama Tuhan karuniakan bagimu kesempatan hidup di dunia-Nya. Lalu coba kau hitung pula perhatian Bunda kepadamu, bukankah hingga saat ini masih serasa Bunda memandangmu bak si kecil rapuh yang mesti terus dilindungi?

Coba sekali-kali kau ingat, kapan Bunda pernah benar-benar tegar melepas kepergianmu saat kau pamit meninggalkannya, taruhlah meski hanya sementara menurutmu, dan tak lama lagi kau bakal kembali?

Coba pula kau ingat-ingat, pernahkah kau saksikan Bunda pernah bosan menasihatimu? Bukankah sebaliknya, seringkali justru kau yang lebih kerap merasa bahwa Bunda terlalu ini dan itu?

Lalu kenapa upaya tulus dan kesabaran panjang Bunda sedemikian rupa itu, tiba-tiba menjadi kecil di matamu? Apa hanya karena kini kau sudah merasa besar dan dewasa, hingga tak perlu dibuai perhatian ekstra lagi? Apa hanya karena kini kau tahu, dirimu adalah sosok mandiri yang berhak sepenuhnya mengatur corak dan warna hidupmu tanpa campur tangan siapapun lagi?

Jika tak ada yang bisa menafikan seluruh hak istimewamu untuk tak bergantung kepada siapapun di dunia ini, mengapa tidak kepada Bundamu? Apakah kau merasa martabatmu bakal jatuh dan menjadi rendah, andaikata kau tetap biarkan rasa bergantung kepada Bundamu tak menjadi hilang secepat itu?

Setidaknya, begitu beratkah bagimu tak membuat Bunda merasa, bahwa dirinya sudah tak seberapa dibutuhkan lagi oleh belahan jiwanya, karena si kecil yang dulu ringkih dan rapuh, kini sudah merasa benar-benar kuat dan dewasa?

Mengapa kau tak memilih sedikit mengalah, agar Bunda tetap merasa bahagia memilikimu sebagai hartanya yang paling berharga? Mengapa kau tak mengikhlaskan saja apapun kemauan Bunda, agar dia merasa, dirinyalah harta paling berharga bagi anak-anaknya; yang tanpa dirinya, semua harta lain anak-anaknya itu menjadi tak bermakna dan kehilangan harganya?

Sebagaimana tak seorangpun yang tahu pasti, berapakah umur dunia, bukankah seperti itu pula tak ada yang tahu pasti berapakah tersisa umur Bunda dan sisa umurmu sendiri di dunia?

Jadi pernahkah kau bayangkan, andaikata hingga hari ini belum mampu kau tunaikan hal-hal “sedemikian itu” bagi Bundamu, siapa bisa menjamin jika tak lama lagi, bisa besok, bisa lusa dan kapan saja, Bunda tiba-tiba pergi dan tak lagi mungkin bisa kembali? Bisakah kau bayangkan betapa menyesalnya dirimu? Lebih dari itu, lebih ironisnya lagi, betapa kasihannya Bundamu?

Senyampang Bundamu masih ada. Senyampang Tuhan belum mencabut karunia besar itu dari sisimu. Senyampang Bunda berkesempatan meraih dan menikmati momen-momen bahagia di akhir-akhir hayatnya. Kenapa bukan engkau, si buah hatinya, yang terdepan, yang terlebih dahulu, membahagiakannya?

Apa susahnya dibandingkan banting-tulang tiada tara Bunda dalam membesarkanmu? Apa artinya dibandingkan perih mata Bunda yang dengan tulus memangkas jatah tidur malam-malamnya demi menjagamu kala kau sakit waktu itu? Seberapa beratnya dibandingkan beban-beban penat perjuangan panjang Bunda membuatmu menjadi seperti apa adamu saat ini?

Senyampang Bundamu masih ada bersamamu. Belajarlah setidaknya kepada siapapun yang sudah mengalami bagaimana rasanya terlebih dulu kehilangan Bunda mereka, sebelum bakti tuntas ditunaikannya secara paripurna. Maka kau akan tahu: betapa kecewa, betapa sedih, betapa seolah selain keberadaan dan kebersamaan hidup di sisi Bunda, tiada seberapa berartinya lagi baginya kini.

 

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *