Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 17 April 2016

OPINI–Membaca Gus Mus Lewat Puisi


Siapa tak kenal KH Mustofa Bisri? Sebagai ulama kharismatik multitalenta, kehidupan sahaja salah seorang Kiai dan pimpinan pondok pesantren ternama di Rembang-Jawa Tengah yang biasa dipanggil Gus Mus ini dikenal tak pernah tercerabut dari akar budaya tradisional dan nilai-nilai kearifan lokal. Meski demikian, pada saat yang sama, Gus Mus seolah tak mau kalah langkah, tetap “gaul” dengan modernitas global, sekaligus tetap mampu berpegang teguh pada nilai-nilai religius dan spiritual.

Kerap dicap pribadi unik dan khas di kalangan para ulama, Gus Mus bukan hanya Kiai super toleran yang mumpuni mencerna dan mengajarkan kitab-kitab klasik dan fasih berkhotbah di banyak panggung dan mimbar tentang pentingnya merawat ukhuwah. Lebih dari itu, ayah Bisri Mustofa inipun sejak lama sudah dikenal banyak orang sebagai seniman dan budayawan. Kelihaian tangannya menari dan menggoserkan kuas di atas kanvas, telah menghasilkan puluhan karya lukis bernuansa khas. Begitupun bakat dan kepiawaiannya dalam meramu kata, telah mencipta puisi-puisi religius menyihir bak mantera yang tak sedikit jumlahnya. Tak hanya itu, masih banyak lagi karya tulis dan video berisi tausiyah sejuknya yang menyebar di medsos dan nangkring di dunia maya, dapat dinikmati sekaligus di-share sebebas-bebasnya.

Tapi apakah dengan keterbukaan sedemikian rupa, akan otomatis memudahkah kita mengenal siapa sosok Gus Mus yang sebenarnya?

Sebagai sesama budayawan, Radhar Panca Dahana menilai Gus Mus bisa dibilang adalah sosok agak misterius yang tergolong jarang ada di zaman kita. Meski demikian, untuk mengenal lebih dalam sosok ini, tak ada salahnya bila kita coba selami puisi-puisi yang telah diungkapkannya. Sebab—masih kata Radhar, dalam seluruh puisi itulah tergambar sebagian, kalau tidak seluruhnya, jejak perjuangan dan upaya Gus Mus sendiri untuk memperkenalkan siapa dirinya kepada kita semua selama ini.

Dalam sebuah kesempatan, Radhar pun kemudian mengutip beberapa baris kalimat dari salah satu puisi Gus Mus berjudul Bila Kutitipkan. Puisi ini, dengan berseloroh sempat disebut Radhar agak kurang pas atau kurang jero judulnya, dan dianggapnya lebih tepat jika judul Bila Kutitipkan itu diubah menjadi Kusimpan Sendiri. Karena menurutnya, itulah gambaran yang lebih mendekati sosok Gus Mus yang seolah merasa dirinya terasing di tengah dunia yang bising.

Berikut ini puisi Gus Mus yang dimaksud Radhar:

BILA KUTITIPKAN

Bila kutitipkan dukaku pada langit
Pastilah langit memanggil mendung

Bila kutitipkan resahku pada angin
Pastilah angin menyeru badai

Bila kutitipkan geramku pada laut
Pastilah laut menggiring gelombang

Bila kutitipkan dendamku pada gunung
Pastilah gunung meluapkan api. Tapi

Kan kusimpan sendiri mendung dukaku
Dalam langit dadaku

Kusimpan sendiri badai resahku
Dalam angin desahku

Kusimpan sendiri gelombang geramku
Dalam laut pahamku

Kusimpan sendiri.

Itulah sedikit gambaran dari sosok Gus Mus yang dapat kita cerna dari puisi yang ditulisnya.

Darinya, mulai sedikit tergambar betapa Gus Mus adalah pribadi yang lebih memilih menyimpan banyak hal untuk dirinya sendiri, terutama kegetiran hidupnya dan duka-derita masyarakatnya di tengah makhluk-makhluk asing, yang saling mengedepankan egonya sendiri.

Kini setidaknya kita bisa lebih memahami, mungkin saja Gus Mus ingin mengatakan bahwa cara seperti yang dipraktikkannya itulah yang lebih tepat dilakukan saat ini, di tengah hiruk-pikuk dunia ketika nilai-nilai luhur agama kian luntur warnanya. Dunia penuh badai dan gelombang. Penuh api dendam, amarah, resah dan gundah tak terperi.

Lewat puisinya inilah, mungkin saja Gus Mus ingin berpesan, selama kita memiliki samudera pemahaman yang luas tentang kehidupan, maka kita akan tetap mampu menghadapi semua petaka tanpa banyak keluh kesah, dan tanpa suara. Senada dengan apa yang disampaikan Gus Mus, mungkin ini pula yang dimaksud seorang bijak ketika berpesan, “Bersyukurlah. Maka dengan bersyukur, bakal lenyaplah segala keluh-kesah.”

Ala kulli hal, hanya dengan bekal ilmu memadai dan pemahaman yang mumpuni, apapun yang terjadi, maka kita bakal tetap mampu menyimpannya sendiri. Tanpa banyak bicara dan tak perlu lagi harus curhat kesana-sini.

 

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *