Satu Islam Untuk Semua

Monday, 09 May 2016

OPINI–Abdillah Toha: Manuver Nekat Parpol


Islamindonesia.id–Abdillah Toha*: Manuver Nekat Parpol

Kasihan partai politik kita. Diluar  partai Nasdem dan Hanura,  partai politik kita tampak kebingungan menjelang Pilgub DKI mendatang. Harga dirinya cedera menghadapi seorang Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang tidak bersedia mengekor syahwat partai. Parpol kita kehilangan kepercayaan diri dan mulai melakukan macam-macam manuver politik. Setelah DPR mencoba mengutak-atik dan berupaya membuat lebih berat persyaratan pemilihan calon kepala daerah independen, sekarang PDIP menyuarakan kemungkinan memboyong walikota Surabaya Tri Rismaharini ke Jakarta (Kompas 02/05).

Tidak peduli yang diboyong keberatan, yang penting Ahok harus dikalahkan. Tidak peduli bagiamana nasib Surabaya nanti dibawah wakil walikotanya yang kontroversial, yang penting menang di DKI. Tidak peduli apakah 82% warga Surabaya yang memilih Risma rela walikotanya “diculik” ke ibu kota, yang penting calon PDIP unggul.

Bila melihat nama-nama calon lawan Ahok yang muncul belakangan ini, Risma memang barangkali bisa menjadi lawan yang paling tangguh untuk menghadapi Ahok meski Ahok sampai sekarang pollingnya masih paling tinggi.  Tetapi tetap saja tidak ada jaminan seratus persen Risma akan bisa mengalahkan Ahok. Risma yang sukses di Surabaya juga akan menghadapi situasi Jakarta yang sangat berbeda dengan lingkungannya di Surabaya yang ia sudah sangat kenal. Ia akan mulai belajar dari awal lagi.

Bila benar PDIP akan “memaksa” Risma maju di DKI, egoisme PDIP itu di satu sisi bisa merupakan strategi yang bagus untuk mengalahkan Ahok tapi bisa juga menjadi bumerang. Menang, dan lebih-lebih lagi bila kalah, PDIP, Risma, dan negeri ini akan merugi. Bila kalah, resume politik Risma dan PDIP akan tercoreng. Bila menang warga Surabaya pencinta walikotanya akan melihat PDIP dan Risma sebagai politisi oportunis yang mengabaikan aspirasi warganya. Surabaya akan kehilangan seorang pemimpin yang sudah terbukti bagus, dan negeri ini akan memubazirkan salah satu dari dua pejabat terbaik bangsa ini.

Di Surabaya Risma tidak dipandang sebagai politisi tetapi lebih sebagai sebagai ibunya warga Surabaya. Saat pertama kali duet dengan Bambang DH, Risma sudah beberapa kali berhadapan dengan partainya sendiri dan DPRD. Risma berhasil lolos dan menang melawan orang-orang partai, bukan karena dia jago berpolitik tetapi karena warga Surabaya termasuk akademisinya dan media masa lokal mendukung dan berada dibelakangnya. Karenanya jangan salahkan sebagian orang yang berprasangka bahwa tekad PDIP memajukan Risma sebenarnya untuk menggantikan walikota Surabaya dengan wakilnya yang sekarang, seorang “petugas partai” yang lebih menurut dan lebih mudah dikendalikan.

Risma juga seorang yang tidak suka dengan acara-acara seremonial ataupun menerima tamu-tamu pengusaha. Seperti Jokowi, dia memilih bekerja di lapangan daripada harus hadir di acara-acara jenis itu. Nah kalau nanti terpilih jadi gubernur DKI, Risma akan kewalahan harus selalu hadir di acara-acara seremonial yang tentu saja lebih banyak daripada di Jawa Timur.

Jadi, mengapa harus memboyong Risma ke Jakarta? Ada suasana patah harapan bercampur nekat (desperate) dikalangan lawan-lawan Ahok sehingga menggunakan segala cara untuk mengalahkannya. Tentunya yang sangat tidak terpuji adalah mereka yang menggunakan cara-cara SARA (suku, agama, dan ras) untuk melawan Ahok. Namun sebagian manuver-manuver brutal partai politik juga tak kalah  buruknya. Setelah Ahok memutuskan maju sebagai calon independen, PDIP sebagai parpol terbesar di DKI bukannya merangkul dan mendukungnya tapi justru merasa ditinggalkan dan bertekad untuk mengalahkannya. Partai politik bukannya mawas diri dan instropeksi atas makin banyaknya calon kepala daerah yang maju independen, tapi justru tersinggung dan memusuhi mereka.

Mengapa harus Risma?
Apakah di negeri yang berpenduduk 250 juta ini sudah tidak ada lagi seorang Risma lain, atau Ridwan Kamil lain, atau bahkan Ahok lain yang bisa direkrut untuk melawan Ahok? Atau, mengapa tidak menawarkan kemungkinan kepada umpamanya Bupati Bojonegoro Suyoto atau Bupati Bantaeng Nurdin dan beberapa kepala daerah lain yang jujur dan berprestasi dengan masa jabatan tersisa setahun atau kurang? Atau mengapa tidak berani memajukan pemuda-pemuda dan calon-calon segar, cerdas, dan berkarakter seperti Sudjatmiko, Boy Sadikin, Yudi Latif, Sukardi Rinakit, Tantowi Yahya, atau lainnya masih banyak lagi atau bahkan mendukung calon muda Sandiaga Uno yang memang sudah ancang-ancang?

Mengapa harus menarik  Risma ke Jakarta yang masa jabatan periode keduanya belum sampai tiga bulan dijalani dengan mencederai rakyat Surabaya? Bila orang-orang baru itu belum terlalu dikenal, bukankah masih ada waktu sembilan bulan lebih untuk mempromosikan mereka menjelang hari pencoblosan pertengahan Februari tahun depan?

Orang yang tidak setuju dengan pandangan ini akan berdalih bahwa kalau dulu Jokowi yang walikota Solo bisa diajukan menjadi Gubernur DKi dan bahkan belum dua tahun sebagai gubernur sudah digotong lagi menjadi calon presiden RI, mengapa sekarang harus keberatan memboyong Risma ke Jakarta? Apa bedanya? Dari sudut pandang kenegarawanan dan kepentingan umum ada alasan kuat mengapa kedua hal itu berbeda.

Ketika Jokowi maju sebagai gubernur maupun presiden, taruhannya (the stake) bagi warga Jakarta dan bangsa sangat besar. Gubernur petahana saat itu yang selama lima tahun tidak berprestasi dan kegemarannya memasang poster dirinya besar-besar di jalan-jalan protokol, tak boleh dibiarkan memerintah lagi untuk lima tahun kedua kalau tak ingin melihat ibu kota Republik ini tambah bermasalah. Perlu dicarikan lawan yang tangguh yang dapat mengalahkannya.

Begitu pula pilpres 2014 harus dimenangkan oleh seorang dengan kaliber Jokowi bila tak ingin negeri ini diperintah oleh capres yang akan mengembalikan Indonesia ke era orde barunya Suharto.

Sebaliknya, dengan Ahok sebagai calon petahana, kita akan senang bila mendapat pengganti yang lebih baik, tetapi juga tidak akan terlalu gusar bila seorang petahana yang telah terbukti berprestasi seperti dia terpilih kembali.

 

*Pemerhati Politik

AJ/IslamIndonesia/Sumber: Kompas (9/5/2016)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *