Satu Islam Untuk Semua

Friday, 06 May 2016

KISAH NYATA–Falsafah Mancing Pak Kiai


Islamindonesia.id–Falsafah Mancing Pak Kiai

Gubuk

Gubuk Pak Kiai. Itulah sebutanku merujuk hunian sederhana yang telah puluhan tahun ditempati Guru Ngajiku di kampung dulu.

Di dalam bilik 4×5 m2 itu hanya ada dipan bambu seukuran 2×1 m2, yang boleh dikata multiguna. Pasalnya, di atas dipan bambu itulah Pak Kiai biasa menerima kami; Aku, Ayah dan Ibuku saat kami bertiga kadang bertamu tiap akhir minggu. Di atasnya pula Pak Kiai biasa mengaji, shalat dan sekaligus rehat merebahkan diri usai mulang kami mengaji di akhir hari.

Tanpa bermaksud menyanjungnya, tapi terus-terang saja, itulah setidaknya yang membuatku tak pernah hilang kagum pada apa-apa yang sahaja hingga kini. Termasuk dirinya, salah satu sosok teladan sekaligus orang pertama yang mengajariku mengaji.

Batuk

Sesekali terbatuk adalah salah satu pertanda Pak Kiai sedang melangkah keluar dari gubuk. Mendengar isyarat itu, anak-anak yang gaduh di surau kami, biasanya sontak berganti mode senyap-sunyi. Entahlah apa yang membuat kami semua sepenurut itu. Padahal Pak Kiai tak pernah menyuruh kami diam, apalagi marah dengan tampang seram. Tapi sepertinya kami semua hanya tak mau Pak Kiai sedih, bila tahu tabiat kami tak setenang dan seteduh dirinya di tiap awal waktu bersiap mengaji. Mungkin justru kesabarannya itulah yang membuat kami semua malu untuk bikin ulah tak tahu malu.

Pitutur

“Tidakkah kalian senang jika Kanjeng Nabi senang?” begitu Pak Kiai suatu ketika bertanya kepada kami semua. Kami pun mengiyakannya. Pak Kiai bilang bahwa ngaji Alquran dengan tertib dan tenang, pasti bakal membuat Kanjeng Nabi senang. Itulah salah satu bentuk atau wujud paling sederhana dari upaya balas budi kita kepada Kanjeng Nabi, yang telah mewariskan Alquran sebagai pedoman.

“Tanpa pedoman suci ini, entah darimana hidup kita semua akan bermula, dan entah kemana hidup kita bakal menuju, kita tak tahu pasti,” tutur Pak Kiai, mengajak kami menghormati Alquran sebagai pedoman suci bagi hidup dan mati kami.

“Tidakkah kalian ingin hidup kalian bahagia dunia-akhirat?” tanya Pak Kiai, yang serentak kami jawab pasti. “Mantep, ngadhepo siro kabeh sing jejeg marang Gusti,” lanjut Pak Kiai, meminta kami sungguh-sungguh menyembah Allah dengan keyakinan yang teguh tanpa ragu kala itu.

Sungguh, jujur saja kami tak tahu persis bagaimana caranya menyembah Allah dengan keyakinan yang teguh tanpa ragu. Sebagai gantinya, Pak Kiai hanya meminta kami mulai mempraktikkan hal-hal yang sederhana. Seperti, berlaku baik tanpa banyak tanya. Ikhlas, rajin salat dan ngaji atas kemauan sendiri tanpa banyak diminta. Berbakti kepada kedua orangtua tanpa berharap apa-apa selain keridhaan-Nya. Sudi membantu sesama teman yang susah tanpa menunggu lama, dan seterusnya.

Ya, seperti itulah Pak Kiai mengajari kami cara hidup bahagia dunia-akhirat, dan hal-hal lain sesederhana itu yang langsung kami jalankan saja. Tanpa banyak lagi bertanya.

Terus terang, baru setelah berumur, banyak butir pitutur Pak Kiai mampu kupahami. Saat itu, boleh dibilang, mungkin hampir semua dari kami hanya menghapalnya saja, tak sepenuhnya paham apa maksud nasihat-nasihatnya. Hanya berbekal modal percaya atas kebaikan dan teladan yang dicontohkannya sajalah yang membuat kami ikhlas mengamalkan apa-apa yang Pak Kiai minta.

Sebab kami tahu betul bahwa Pak Kiai orang baik, dan kami yakin orang baik layak diteladani tutur kata dan perilakunya. Sementara buatku, hal meneladani Pak Kiai, salah satunya adalah karena pengaruh membekas wejangan Ibu.

Nasihat Ibu

Suatu saat aku bertanya kepada Ibu, “Bagaimana Ibu yakin Pak Kiai orang yang tepat sebagai tempat menitipkanku belajar mengaji?”

“Sebab Ibu tahu dari sejak Ibu masih muda dulu, Pak Kiai bukan orang yang neko-neko, Nak. Sederhana tutur-kata dan perilakunya. Sederhana hidupnya. Baik kepada semua orang di sekitarnya. Fasih ngaji Qur’annya. Lebih dari itu, Pak Kiai adalah juga Guru Ayah dan Ibumu ini,” jawab Ibu.

“Dari Pak Kiai, Ibu tahu betapa berpengaruhnya segala upaya bakti hidup kita kepada kedua orangtua. Apalagi bakti kita kepada Kanjeng Nabi dan kepada Gusti Allah sing ngutus Kanjeng Nabi. Itulah beberapa pitutur yang diajarkan Pak Kiai kepada Ayah dan Ibu dulu,” kisah Ibu tentang masa lalunya berguru kepada Pak Kiai.

Ya, sejak itulah aku selalu mencoba mencari tahu, apa sih kelebihan lain Pak Kiai yang belum kutahu. Pikirku, kenapa Ayah dan Ibu begitu kagumnya kepada sosok yang satu ini? Padahal, berbeda dengan Kiai-kiai lain yang tongkrongannya mentereng di acara-acara hajatan dan kondangan, khitanan atau kawinan, Pak Kiai tetap saja tampil sahaja dengan baju dan sarung hitam kesehariannya belaka. Baju dan sarung yang sama, kostum khas yang dipakainya setiap kali mancing di Kali Bening, tak jauh dari rumahku.

Mancing di Kali Bening

Soal Kali Bening, sebenarnya saat itu hanya tinggal nama. Kata Ibu, kali itu dulunya memang bening. Tapi berubah keruh sejak pabrik kertas berdiri di sana, jauh di hulu, sejak puluhan tahun lalu. Dan di kali itulah Pak Kiai biasa mancing barang dua-tiga jam lepas tengah hari, di bawah serumpun bambu.

Soal kebiasaan mancingnya itu, semula aku tak paham apa maksud Pak Kiai melakukannya. Sampai suatu ketika, saat diminta Ibu mengantar titipan kepadanya, aku diminta Pak Kiai duduk menemaninya.

“Kowe ngerti opo sebabe aku seneng mancing nang Kali Bening kene, Le?” tanya Pak Kiai mengawali perbincangan, seolah tahu isi hatiku soal apa maksud aktivitas rutin mancingnya di kali tak jauh dari rumahku itu. “Mboten sumerap, Yai,” jawabku.

Saat itulah Pak Kiai sedikit membuka rahasianya kepadaku, ihwal falsafah mancing di kali yang hingga kini tak kulupakan dan beberapa di antaranya ingin kubagi.

“Hidup kita ini hampir keseluruhannya adalah serupa orang mancing, Le. Kalau kamu berbuat baik dengan berbakti kepada kedua orangtuamu, itulah upayamu memancing keridhaan mereka berdua sekaligus keridhaan Kanjeng Nabi dan Gusti Allah.”

“Saat mancing, ketika itulah kita pasrah, Le. Sebab kita tak tahu pasti apakah akan ada ikan di bawah sana yang sudi melahap umpan kita lalu tersangkut insangnya, kita tarik keluar dan selanjutnya kita makan sebagai lauk berteman nasi. Sebab bisa jadi, umpan kita tandas dimakan, tapi ikan tetap bisa bebas semaunya pergi.”

“Begitulah dengan mancing, kita melatih diri dan pikiran kita agar tetap tenang. Meski sepintas tampaknya hanya berbekal diam, saat diam berjam-jam itulah kita melatih kesabaran, bersamaan dengan niat dan ketetapan hati dalam menaruh harapan.”

“Di akhir waktu mancing, saat itulah kita dapat memetik buah dan makna mancing kita hari itu. Bahwa mancing bukan semata urusan mendapat ikan. Bahwa rezeki itu bukan sekadar berwujud ikan dan hal-hal serupa ikan. Apakah kalau ikan didapat, kita akan tetap mampu bersyukur dan senang? Apakah ketika tidak dapat ikan pun kita akan tetap ikhlas karena sudah lebih mampu tetap legowo dan tenang? Akan tetap mudahkah kita yakini bahwa begitulah rezeki kita telah diatur oleh Gusti Allah? Kemarin dapat banyak, hari ini dapat sedikit, dan entah besok, seberapakah yang akan kita terima, dan seterusnya, dan seterusnya… Bahkan ketika tak seekorpun ikan bisa dibawa pulang, tetap saja kita dapat rezeki lain berupa tambahan kesabaran dan ketenangan.”

Itulah beberapa di antara penjelasan Pak Kiai kepadaku soal hobinya. Namun sedikit berbeda dengan penjelasan makna mancing yang disampaikan Pak Kiai, ternyata Ibu punya penafsiran sendiri tentang kebiasaaan Pak Kiai bukan saja dalam hal memancing ikan, tapi juga dalam hal memancing munculnya pemahaman para santrinya dengan cara memancingnya dengan pertanyaan-pertanyaan. Dan sejak itu aku baru sadar, kenapa selama ini Pak Kiai dalam mengajar dan mendidik kami lebih kerap mengawalinya dengan bertanya daripada ujug-ujug menjelaskan banyak hal.

Ternyata, pertanyaan-pertanyaan: “Tidakkah kalian senang jika Kanjeng Nabi senang?”; “Tidakkah kalian ingin hidup kalian bahagia dunia-akhirat?” ; “Kowe ngerti opo sebabe aku seneng mancing nang Kali Bening kene, Le?” dan pertanyaan-pertanyaan lain serupa itu, justru itulah upaya Pak Kiai memancing pemahaman kami. Tak terkecuali pemahamanku.

Ya, pertanyaan-pertanyaan sederhana semacam itulah yang menurut Ibu merupakan ciri khas Pak Kiai memancing munculnya pemahaman para santri. Sebab kata Ibu, Pak Kiai pernah bilang, sejatinya semua santrinya tidaklah lebih bodoh dibandingkan dirinya sebagai Guru Ngaji, melainkan hanya perlu dimunculkan kecerdasan yang tersimpan di dalam diri mereka keluar ke permukaan, tak ubahnya upaya Pak Kiai memancing ikan di kali.

Akhirnya, harus kuakui, di balik kesahajaan penampilan dan perilaku hidup itulah ternyata tersimpan kecerdasan dan kepiawaian Pak Kiai, bukan hanya semata mumpuni urusan mengaji.

Itulah yang membuatku berterimakasih sekaligus percaya bahwa Ibu tak salah menitipkanku dalam asuhan Pak Kiai. Aku tetap bersyukur, meski hingga kini aku belum mewarisi kelebihan-kelebihan guru ngaji yang Ibu kagumi itu. Sebab Pak Kiai telah mengajariku untuk tetap tenang, tetap mampu berharap. Katanya, sesuatu yang ditakdirkan menjadi milik kita pasti bakal datang, entah kapan, selama Gusti Allah menghendaki. Salah satu kuncinya adalah dengan memiliki kesabaran dan ketenangan para pemancing seperti Pak Kiai.

 

EH/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *