Satu Islam Untuk Semua

Monday, 30 November 2015

Abdul Nour Bidar: Jika Tak Mau Hasilkan ISIS, Kurikulum Wahabi Harus Dirombak


Oleh: Israa al-Fass

Dalam pesan terbuka untuk dunia Islam pada akhir 2014, professor  filsafat di Nice, Perancis, Abdul Nour Bidar, menulis, “Jika Anda ingin belajar bagaimana tidak memproduksi [sesuatu di] masa depan seperti moster-monster ini [ISIS], Anda harus mulai merombak seluruh pendidikan anak-anak Anda, sebagaimana [reformasi] di berbagai bidang pengetahuan dan di pemerintahan. Ini satu-satunya jalan Anda untuk tidak memproduksi monster-monster semacam itu.”

Dengan perkataan jujur pada Dunia Islam, Bidar, intelektual Muslim Perancis, menunjukkan masalah yang sebenarnya. Masalah terletak dalam “fanatisme gelap dan kemunduran dalam Wahabisme yang hingga kini memicu begitu banyak penyimpangan di Kerajaan Arab Saudi, laiknya kanker yang tumbuh di dalam hatimu!” Masalahnya terletak dalam pendidikan berbasis kurikulum Wahabisme.

Pada 2014, situs Amerika yang memantau urusan keamanan, Daily Paul, memperkirakan ada 7.000 orang militan Arab Saudi yang bergabung dengan ISIS. Angka ini menempati peringkat pertama di antara militan dari negara-negara lain. Di awal 2015, situs Russia Today juga menerbitkan sebuah survei di mana militan asal Saudi menduduki peringkat kedua di antara para militan ISIS.

Sementara itu, koran Saudi Al-Hayat pada Oktober 2014 mengakui 60%  teror bom bunuh diri ISIS di Irak dilakukan oleh militan asal Saudi. Pada periode yang sama, televisi Al-Arabiya, dalam salah satu talk show, sempat membahas alasan “kenapa pembom bunuh diri terbanyak di Suriah dan Irak berasal dari Saudi.”

Bukan hanya Suriah dan Irak, sejatinya. Rentetan pemboman dan serangan bersenjata di al-Ahsa, al-Qatif dan ad-Dammam, serta Kuwait, juga dilakukan oleh militan Saudi. Maka muncul pertanyaan, bagaimana bisa Arab Saudi memproduksi terorisme?

Intelektual Perancis itu mengatakan akar terorisme terletak di dalam pendidikan, pada kurikulum siswa dan generasi Saudi yang dibesarkan dalam semua itu. Hal ini juga berlaku untuk anak-anak di negara-negara yang sekolah Saudi ditemukan di sana. Seperti di Washington, Jakarta, Rabat, Aljazair, Madrid, Paris, Roma, Berlin, Bonn di Jerman, Wina, Moskow, serta Istanbul, Ankara, Islam Abad, Karachi , New Delhi, Beijing dan Djibouti. Tapi Inggris dan Irlandia sudah memutuskan menutup sekolah-sekolah seperti itu.

Masalah pendidikan bermula pada hari pertama dirancangnya kebijakan pendidikan kerajaan, yang dipatok harus mencerminkan pandangan keagamaan resmi yang diadopsi kerajaan karena dianggap sebagai satu-satunya model pendidikan yang sah. Ihwal semua ajaran kepercayaan dan yurisdiksi selain pandangan keagamaan kerajaan dinyatakan tidak diterima dan secara resmi ditolak, berikut anjuran agar setiap “penyimpangan dan kesesatan” ajaran di liar pandangan keagamaan Kerajaan harus diperangi.

Pada 1960, di era pemerintahan Faisal Abdul Aziz, kekuatan Ikhwanul Muslimin meningkat di Arab Saudi seiring penerimaan kerajaan terhadap perjuangan mereka melawan Presiden Mesir Jamal Abdul Nasser. Menurut buku “Time of Uprising … Contemporary Islamic Movements in Saudi Arabia” oleh ilmuwan politik Perancis, Stefan Lacroix, Ikhwan punya peran kunci dalam pengembangan dan pembentykan program pendidikan, di bawah pengawasan lembaga Wahabi yang impoten memainkan peran tersebut. Tokoh Ikhwan dari Suriah, Mohammad al-Mubarak, berperan utama dalam hal ini. Begitu pula Manna ‘al-Qattan dari Mesir yang berperan penting dalam mengeluarkan kebijakan pendidikan agama untuk Kerajaan, yang masih tersedia sampai saat ini, meski sudah mengalami “revisi” pada 2003.

Setelah serangan 11 September 2001, banyak tulisan di media Arab dan Barat yang mengisahkan tekanan Amerika Serikat agar kurikulum pendidikan Saudi diubah lantarandiduga jadi biang kerok kekerasan atas nama agama. Koran Saudi Al-Shark al-Awsat pernah menulis tentang hal itu pada 3 Februari 2003.

Surat kabar itu melaporkan pernyataan Saudi Menteri Pendidikan kala itu, Mohammad al-Rashid. “Orang mengatakan bahwa sistem pendidikan adalah alasan di balik sikap keras terhadap negara-negara dan agama lain, tapi ini tidak benar. Jika ini benar maka semua orang Saudi yang menerima pendidikan seperti itu akan berpartisipasi dalam tindakan demikian,” katanya.

Namun surat kabar itu mengutip tanggapan pembaca, termasuk tanggapan ini, “[Tim] pemerintah Saudi yang merevisi semua buku sekolah mencari segala bentuk ekstremisme, [dan mereka] menemukan bahwa 5% dari bahan yang sudah disiapkan  harus dihapus.” Tapi menurut penelitian Saad Sharif dalam majalah al-Hijaz, revisi kurikulum pendidikan itu ternyata tidak serius karena “kelompok yang menetapkan sistem pendidikan agama di sekolah-sekolah pemerintah adalah kelompok yang sama yang merevisi itu … [mereka] tetap menjaga konten-konten yang sama.”

Potret utuh penyemaian pemikiran Takfirisme di Arab Saudi akan jelas jika Anda melihat buku Tauhid yang ditetapkan dalam kurikulum. Lebih jauh, buku yang berdasarkan buku “Tauhid” Mohammad Abdul Wahhab itu, juga diajarkan di sekolah-sekolah yang didirikan ISIS di beberapa kota, seperti Aleppo dan ar-Raqqa di Suriah.

Sejarawan Saudi, Abdullah al-Shummari, mengatakan, “(ISIS) tersebar di negara-negara yang didominasi oleh keyakinan Salafi, buku-buku Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qayyem dan Mohammad Abdul Wahhab, serta pengkhotbah lulusan  Saudi yang beraliran Wahabi.”

Dokumen “kebijakan pendidikan di Kerajaan Arab Saudi” menegaskan bahwa “kebijakan pendidikan di Arab Saudi didasarkan pada Islam yang diadopsi oleh negara terkait keyakinan, ibadah, etika, Syariah, aturan, rezim dan sistem kehidupan yang komprehensif, dan itu adalah bagian utama dari kebijakan umum negara,” dan Islam di sini diartikan secara ketat sebagai ajaran Wahabisme.

Dokumen resmi itu juga mengarahkan “ilmu-ilmu agama yang menjadi bahan ajar dalam semua pendidikan SD, SMP dan SMA, sementara budaya Islam merupakan bahan utama dalam semua pendidikan tingkat tinggi.”

Dokumen itu juga menegaskan pentingnya mengarahkan segala bentuk ilmu dan pengetahuan di berbagai level kurikulum, penulisan dan pengajaran sesuai koridor Islam dalam menghadapi berbagai isu, penilaian atas teori-teori ilmu dan cara menginvestasikannya hingga sesuai dengan pemikiran Islam yang benar,” yang diartikan sebagai ajaran Abdul Wahhab yang notabene menetapkan bahwa semua kelompok Islam selain Wahabi adalah kafir. Dan dialah yang mengemukakan soal perlunya “mengembangkan loyalitas…menyangkal semua rezim atau prinsip-prinsip yang menentang syariah ini.”

Dokumen Saudi itu menekankan bahwa “berjuang demi Allah adalah kewajiban pasti dan setiap Sunah harus diikuti; ini adalah kemestian yang harus terjaga hingga Hari Kebangkitan.” Dokumen juga menambahkan bahwa salah satu tujuannya adalah “membangun semangat jihad Islam dalam memerangi musuh-musuh kita…dan menjalankan tugas ajaran Islam.”

Lantas bagaimana kurikulum pendidikan Islam di kerajaan menggambarkan citra musuh? Dan bagaimana mereka mengidentifikasi jalan “jihad” melawannya, yang mengarah pada pembunuhan umat Islam dengan panji memerangi ateisme dan pengkafiran, sehingga memunculkan alasan untuk absen dari pertempuran melawan kekuatan pendudukan dan arogansi di bawah klaim “mematuhi penguasa”?

Jawabannya tersaji di bagian kedua  nanti. []

Anisa/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *