Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 17 April 2016

PENDIDIKAN–Meminta Maaf Cermin Peradaban


Seorang motivator bercerita:

“Di tengah paparan saya pada salah satu sesi khusus di tengah bapak-bapak, aku perhatikan seseorang berubah raut wajahnya. Tidak lama air mata membasahi pipinya. Waktu itu saya berbicara bagaimana bergaul dengan anak-anak dan cara memahami mereka. Saat rehat dia menghampiriku dan berbicara secara pribadi.”

Dia berkata, “Tahukah Anda mengapa aku terpengaruh dengan tema kajian Anda sehingga membuatku menangis?”

Saya menjawabnya, “Tidak, demi Allah.”

Dia berkata, “Sesungguhnya aku mempunyai seorang anak berusia tujuh belas tahun. Aku telah menelantarkannya sejak lima tahun lalu. Hal itu karena dia tidak mendengarkan perkataanku. Dia berkawan dengan teman-teman yang buruk. Dia suka merokok. Perangainya buruk. Dia tidak lagi melaksanakan shalat dan tidak menghormati ibunya. Oleh karena itu, aku memutuskan hubungan dengannya. Aku tidak lagi menafkahinya. Aku membuatkan kamar untuknya di bawah tanah. Namun dia tidak merasa terkekang.”

“Aku tidak mengerti apa yang telah kulakukan. Kata-kata Anda membuatku lega untuk mengobati segala permasalahanku. Apa nasehat Anda untukku? Haruskah aku melanjutkan pemutusan hubungan dengannya atau menyambungkan hubungan kepadanya kembali? Jika Anda menasehatiku untuk kembali kepadanya bagaimanakah caranya?”

Saya berkata kepadanya, “Sebaiknya Anda menghubunginya hari ini. Sesungguhnya yang dilakukan anakmu salah. Namun Anda memutuskan hubungan dengannya selama lima tahun juga sebuah kesalahan. Akuilah kesalahanmu di hadapannya. Namun dia juga harus berubah menjadi anak yang berbakti kepada orang tuanya dan berjalan di jalan yang benar.”

Dia membantah saya seraya berkata, “Sesungguhnya aku ayahnya. Aku meminta maaf kepadanya? Kita tidak dididik sebagai ayah yang meminta maaf kepada anaknya!”

Saya menjawabnya, “Wahai saudaraku, kesalahan tidak mengenal tua dan muda. Seorang yang bersalah hanyalah berkewajiban untuk meminta maaf.”

Dia tidak menggubris perkataanku. Lalu kami melanjutkan kajian hingga selesai hari pertama.

Hari berikutnya, sang bapak menghampiriku dengan senyum gembira. Saya pun bahagia menyambut kebahagiaannya.

Saya bertanya, “Ada kabar apa?”

Dia menjawab, “Aku mengetuk pintu kamar anakku jam sepuluh malam. Dia pun membuka pintu.”

“Aku berkata padanya, ‘Wahai anakku, sungguh aku menyesali atas perbuatanku memutuskan hubungan denganmu selama lima tahun.’ Dia segera memeluk dadaku. Dia mulai menangis keras dan aku pun menangis bersamanya.”

Anakku berkata, “Wahai ayahku, apa yang engkau ingin aku perbuat? Sungguh aku tidak akan lagi menolak perintahmu.”

Cerita bapak itu membuat bahagia semua yang hadir pada kajian itu. Benar bahwa kesalahan tidak mengenal tua atau muda.

Sesungguhnya seorang ayah yang melakukan kesalahan terhadap anaknya lalu meminta maaf kepada anak-anaknya telah mengajarkan mereka tentang perilaku meminta maaf atas kesalahan mereka. Jika seorang ayah tidak meminta maaf berarti dia telah mendidik anak-anaknya tentang keangkuhan dan kesombongan secara tidak sadar.[]

 

Tom/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *