Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 16 May 2015

OPINI – Makna Isra’ dan Mi’raj (1)


Perjalanan Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Bayt Al-Maqdis, naik ke Sidrat Al-Muntaha, bahkan melampauinya dan akhirnya kembali ke Makkah dalam waktu sangat singkat merupakan salah satu mukjizat terbesar Nabi sesudah Al-Qur’an. Peristiwa ini membuktikan bahwa ilmu dan kuasa Allah meliputi dan menjangkau, bahkan mengatasi dan melampaui, segala yang terbatas dan tak terbatas tanpa terbatas waktu atau ruang.

Kaum empiris yang melepaskan diri dari bimbingan wahyu dapat saja menggugat: bagaimana mungkin kecepatan, yang bahkan melebihi kecepatan cahaya, kecepatan yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum empat dimensi ini, dapat terjadi? Bagaimana mungkin lingkungan material yang dilalui oleh Nabi Muhammad saw. tidak mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang merusak tubuh beliau sendiri? Bagaimana mungkin beliau dapat melepaskan diri dari daya tarik bumi? Ini tidak mungkin terjadi, karena ia tidak sesuai dengan hukum-hukum alam, tidak dapat dijangkau oleh pancaindera, bahkan tidak dapat dibuktikan oleh pendekatan saintifik. Demikian kira-kira kilah mereka yang menolak peristiwa ini.
Memang, pendekatan yang paling tepat untuk memahaminya adalah pendekatan imani. Inilah yang ditempuh oleh Abu Bakar Al-Shiddiq, seperti tergambar dalam ucapannya: “Apabila Muhammad yang memberitakannya, pasti benarlah adanya.” Oleh sebab itu, uraian ini berusaha untuk memahami peristiwa tersebut melalui apa yang kita percayai kebenarannya berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang dikemukakan oleh Al-Quran.

* * *

Salah satu hal yang menjadi pusat pembahasan Al-Quran adalah masa depan ruhani manusia demi mewujudkan keutuhannya. Uraian Al-Quran tentang Isra’ dan Mi’raj merupakan salah satu cara pembuatan skema ruhani tersebut. Ini terbukti jelas melalui pengamatan terhadap sistematika dan kandungan Al-Quran, baik dalam bagian-bagian suratnya maupun dalam ayat-ayatnya yang lebih terinci.

Tujuh bagian pertama Al-Quran membahas pertumbuhan jiwa manusia sebagai pribadi yang secara kolektif membentuk umat.
Dalam bagian kedelapan sampai keempat belas, Al-Quran menekankan pembangunan manusia seutuhnya serta pembangunan masyarakat diikuti dengan organisasi, integrasi dan konsolidasinya. Tema bagian kelima belas mencapai klimaksnya dan tergambar pada pribadi yang telah mencapai tingkat tertinggi dari manusia seutuhnya, yakni al-insan al-kamil. Dan karena itu, peristiwa Isra’ dan Mi’raj merupakan awal bagian ini, dan berkelanjutan hingga bagian kedua puluh satu, di mana kisah para Rasul diuraikan dari sisi pandangan tersebut. Kemudian, masalah perkembangan ruhani manusia secara orang per orang diuraikan lebih lanjut sampai bagian ketiga puluh, dengan penjelasan tentang hubungan perkembangan tersebut dengan kehidupan masyarakat secara timbal-balik.

Sebagaimana para pakar dalam disiplin ilmu lain, para pakar Al-Quran menyatakan bahwa segala sesuatu memiliki pendahuluan. Imam Al-Suyuthi berpendapat bahwa pengantar suatu uraian dalam Al-Quran adalah uraian yang terdapat dalam surat sebelumnya. Sedangkan inti uraian satu surat dipahami dari nama surat tersebut, seperti dikatakan oleh Al-Biqai’i. Dengan demikian, maka pengantar uraian peristiwa Isra’ adalah surat yang dinamai Tuhan dengan sebutan Al-Nahl, yang berarti lebah.

Mengapa lebah? Karena makhluk ini memiliki banyak keajaiban. Keajaibannya itu bukan hanya terlihat pada jenisnya, yang jantan dan betina, tapi juga jenis yang bukan jantan dan bukan betina. Keajaibannya juga tidak hanya terlihat pada sarang-sarangnya yang tersusun dalam bentuk lubang-lubang yang sama bersegi enam dan diselubungi oleh selaput yang sangat halus namun dapat menghalangi udara atau bakteri menyusup ke dalamnya. Juga tidak hanya terletak pada khasiat madu yang dihasilkannya, yang menjadi makanan dan obat bagi sekian banyak penyakit. Keajaiban lebah mencakup itu semua, dan mencakup pula sistem kehidupannya yang penuh disiplin dan dedikasi di bawah pimpinan seekor “ratu”. Lebah yang berstatus ratu ini pun memiliki keajaiban dan keistimewaan. Misalnya, bahwa sang ratu ini, karena rasa “malu” yang dimiliki dan dipeliharanya, enggan untuk mengadakan hubungan seksual dengan salah satu anggota masyarakatnya yang jumlahnya dapat mencapai sekitar tiga puluh ribu ekor. Di samping itu, keajaiban lebah juga tampak pada bentuk bahasa dan cara mereka berkomunikasi, yang dalam hal ini telah dipelajari secara mendalam oleh seorang ilmuwan Austria, Karl Van Fritch.

Lebah dipilih Tuhan untuk menggambarkan keajaiban ciptaan-Nya agar menjadi pengantar keajaiban perbuatan-Nya dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Lebah juga dipilih sebagai pengantar bagi bagian yang menjelaskan manusia seutuhnya. Karena manusia seutuhnya, manusia mukmin, menurut Rasul, adalah “bagaikan lebah, tidak makan kecuali yang baik dan indah, seperti kembang yang semerbak; tidak menghasilkan sesuatu kecuali yang baik dan berguna, seperti madu yang dihasilkan lebah itu.”

MH/ Saduran dari Tafsir Al-Misbah karya Prof. Quraish Shahab

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *