Satu Islam Untuk Semua

Friday, 28 February 2014

Gus Mus: Syarat Pemimpin (Itu) Dua


cyberdakwah.com

Bukan bibir yang tersenyum, tapi wajah. Itu yang diajarkan Rasul pada umatnya.

Pesta demokrasi lima tahunan di Republik ini, segera digelar April 2014 mendatang. Tidak sedikit yang menyambutnya dengan penuh semangat. Tapi, cukup tak terhitung pula jumlah orang-orang yang bernada pesimis menyambut pemilihan umum ini.

Mereka yang pesimis memiliki alasan beragam. Salah satunya, orang-orang ini mengaku tak yakin jika pemimpin hasil Pemilu yang baru dapat mengubah kondisi Indonesia menjadi negara yang lebih baik.

Bahkan, ada juga yang mengatakan bahwa hingga saat ini, tak ada calon kandidat yang layak untuk menduduki kursi hangat pemerintahan itu.

Lantas, apa syarat bagi para calon pemimpin ini? Mustofa Bisri atau yang akrab dipanggil Gus Mus melalui akun Youtube berjudul “Penerang Qalbu Gus Mus” yang diunggah Ivangka Kusuma mengatakan bahwa pemimpin itu hakikatnya seperti wali. Sebab ia mewakili suara rakyat.

Dan, syarat dari wali atau pemimpin ini pada dasarnya ada dua. Pertama, mereka yang layak dipanggil wali adalah ia yang menyembah pada Tuhan yang satu. “Nah, orang Indonesia ini semuanya sudah menyembah Tuhan yang satu. Ada dalam Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa,” kata Gus Mus.

Kedua, lanjut Gus Mus, syarat wali adalah mereka yang istiqomah berada di jalan-Nya, “Kalau di pengajian ngakunya Tuhannya Allah, tapi kalau di pasar Tuhannya untung. Kan aneh. Belum lagi kalau di politik, Tuhannya kepentingan.”

Gus Mus menyadari bahwa istiqomah memang tidak mudah, namun jika mau dilakukan terus menerus, niscaya istiqomah bisa menjadi akhlak/kebiasaan/tabiat seperti halnya yang dicontohkan Rasul Saw.

“Kalau bisa istiqomah terus, di mana pun dan kapan pun. Di mana kita mencari jawab dan pedoman, Dia-lah Allah. Tapi ya itu.. istiqomah itu sulit. Istiqomah harus terus menerus dijaga,” ucapnya.

Jika sudah istiqomah, Gus Mus menambahkan, wali ini tidak akan takut pada apa pun dan siapa pun, selama ia ada di jalan Tuhan. “Alaa inna auliya Allah laa khoufun alaihim walaa hum yahzanun” (ketahuilah sesungguhnya wali-wali Allah itu tak akan pernah takut dan tak kan pernah sedih).

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah, kemudian mereka tetap istiqomah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.” (Qs. Al-Ahqof: 13)

“Jadi, kalau masih takut, jangan menghayal jadi wali,” tegas Gus Mus.

Jika kedua syarat sudah terpenuhi, muncullah akhlak mulia, dan ini lebih baik dari seribu karomah, “Khoirun min alfi karomah. Bisa memanggil burung, itu karomah. Tapi akhlak baik nilainya seribu kali lebih baik dari itu.”

Akhlak yang baik dengan mengikuti akhlaknya Rasul—baik secara pribadi, maupun hubungan Rasul dengan umat–wa innaka la’ala khuluqin adzim.

Rasul mengajarkan pada umatnya tidak hanya dengan lisan, tapi juga dengan memberi contoh. “Sebagai Nabi, utusan Allah, ia bisa saja mengambil keputusan sendiri. Tapi, beliau justru selalu melibatkan umatnya. Tidak otoriter. Selalu mengadakan musyawarah. Selalu memberi maaf, bersikap lembut. Bukan bibir yang tersenyum, tapi wajah. Itu yang diajarkan Rasul pada umatnya. Dia lakukan ini untuk memberi contoh.”

AJ/Islam Indonesia

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *