Satu Islam Untuk Semua

Friday, 25 December 2015

RESENSI – Muhammad di dalam Muhammad


Muhammad. Nama yang tak asing bagi kita. Satu setengah milyar lebih penduduk dunia menyebutnya dalam azan, ikomat, sholat, doa, tawasul, dan juga angan-angan mereka. Ia hadir dalam suka dan duka mereka. Ia menerbitkan kerinduan. Dan ia jelas bukan sekedar nama. Muhammad adalah nama yang lebih dari sekedar nama.

Tapi Muhammad tetap dalam kegaiban, abstrak, tanpa sosok. Ia menjadi simbol dan makna, perasaan dan imajinasi. Ia tetap nun jauh di sana, berdiri tegak 1400 tahun silam, sebagai cahaya, rahmat bagi sekalian alam.

Muhammad yang kita ketahui, akrabi dan mungkin juga kita cintai itu tetap tidak berjasad. Jasadnya telah berbaring damai di kota Madinah, 1400 tahun lampau.

Majid Majidi adalah salah satu sutradara yang berusaha menghadirkan jasad Muhammad itu, menghidupkannya kembali agar panca indra orang modern mampu mambayangkannya. Film yang berdurasi 178 menit besutannya bagi mata saya yang awam telah mencapai tujuannya: menjasadkan Muhammad dalam segala keagungan, kesucian dan kemuliaannya.

Film ini dibuka dengan pemandangan sosok penunggang kuda yang berlari kencang, membalakangi matahari yang membakar dan memancar terang. Sosok itu adalah Hamzah, satu dari dua paman Nabi yang telah memfanakan hidupnya demi misi Rasul. Yang lain tentu saja adalah Abu Thalib.

Dua tokoh ini menjadi ikon yang menghadirkan film Muhammad sebagai peristiwa sejarah di bumi manusia, bukan sekadar dongeng yang susah dipahami. Sosok lain yang juga tampak di dalam film adalah kakek Nabi, Abdul Muthalib. Peran dan pengaruhnya terhadap kehidupan Nabi juga tampil begitu kuat.

Tapi di antara tokoh yang pasti membuat kita menangis dalam film Majidi adalah ibunda Nabi, Aminah. Sebagai ibu, Aminah telah melakukan segalanya dengan sempurna. Di saat semua penduduk Makkah lari untuk menyelamatkan diri dari serangan pasukan Abrahah, Aminah justru berdiam tenang di rumah. “Entah mengapa, bayi dalam kandungan ini membuatku tenang,” katanya kepada mertuanya, Abdul Muthalib.

Film Majidi lantas menghadirkan adegan demi adegan penderitaan yang menimpa keluarga besar Abu Thalib menjelang masa kerasulan. Dalam salah satu adegan napak tilas, kita dapat menyaksikan perkampungan tempat tinggal Nabi diboikot oleh kafir Quraisy. Anak-anak kecil yang terlihat kumal menderita kelaparan. Intrik dan tipu daya yang menimpa Abu Thalib begitu getir karena tak jarang pula datang sebagai tikaman dari belakang.

Salah satu persekongkolan hebat untuk mengetahui dan menghabisi Nabi datang dari para pendeta Yahudi. Mereka mengutus tentara bayaran untuk mengenali tanda kenabian di punggung Baginda Nabi. Berbagai cara mereka lakukan untuk menemukan Nabi dan mengeksekusi perintah para pendeta tersebut. Tapi Nabi selalu saja selamat. Ketika akhirnya Nabi yang masih bayi pindah ke asuhan Halimah, pengejaran berbuah pembunuhan beberapa kerabat Halimah sendiri.

Pesan paling menonjol dari keseluruhan film ini, dan tentunya memang demikian hakikatnya, adalah sisi-sisi kemanusiaan Sang Nabi. Sejak kecil, Nabi digambarkan senantiasa tersiksa akibat cambukan yang mengena ke punggung budak-budak kulit hitam di Makkah. Beliau seperti merasakan cambuk itu di punggungnya sendiri. Malam-malam beliau terbangun, mendatangi kerangkeng budak-budak itu dan duduk bersama anak-anak mereka.

Empati Nabi juga demikian tergambar dalam salah satu adegan ketika pasangan Jahiliyah hendak mengubur putri mereka. Nabi menghampiri tubuh itu, mengangkatnya dan membelai wajahnya. Tiba-tiba kedua orangtuanya menyaksikan wajah bayi yang sangat cantik, dan mereka pun kembali mengambilnya dengan tersipu-sipu malu.

Suatu kali Nabi ikut kafilah dagang pamannya Abu Thalib ke Syam. Di sana dia disambut oleh kalangan Nasrani, terutama setelah ada penegasan Pendeta Buhaira perihal tanda kenabian di pundak beliau. Setelah terjadi percakapan yang dramatis dan peringatan pendeta akan bahaya yang mengancam nyawa beliau, Nabi dan rombongan meninggalkan Syam. Di perjalanan, Nabi dicegat oleh sekelompok tentara bayaran Yahudi. Mereka mampu dikalahkan. Pimpinan tentara bayaran itu lantas terluka parah. Nabi memintanya untuk dibawa dan diobati. Tibalah kemudian kafilah di sebuah desa pinggir laut yang sedang paceklik. Mereka percaya bahwa cara mendatangkan ikan adalah dengan mengurbankan tumbal anak. Dua pasangan anak lelaki dan perempuan diikat di tebing bukit yang menjorok ke laut. Nabi pun segera menghapiri kedua anak itu dan melepaskan ikatan mereka.

Kepala suku dan warga pun kontan marah. Ketika mereka hendak menyerang, Nabi mengangkat kedua tangannya ke atas dan datanglah ombak laut yang sangat besar. Gelombang itu seperti hendak menelan semua tapi kemudian berhenti dan menghamburkan ribuan ikan segar ke tepi pantai. Kepala suku dan warga pun langsung berebut makanan.

Yahudi yang menyaksikan adegan itu segera menitikkan air mata, tertunduk malu. Ia merasa berdosa telah memerangi manusia yang turun sebagai rahmat buat semua. Nabi menghampirinya dan mengusapnya. Dia sembuh dan pergi. Kelak, di saat seluruh kabilah Arab hendak memerangi Abu Thalib yang menjaga Rasul, Yahudi ini datang membela dan menegaskan kebenaran kenabian Muhammad.

Begitulah sekilas film Muhammad Sang Nabi karya Majid Majidi, yang telah kembali menghidupkan dan menjasadkan zaman kenabian dari sudut pandang yang begitu manusiawi. Nabi adalah penerima wahyu yang tiap geraknya bertujuan memuliakan dan membebaskan manusia. Beliau datang dengan misi rahmat dan kebaikan bagi sekalian alam.

Salam atasmu wahai Junjungan kami, salam bagimu wahai Rahmat bagi alam semesta, salam bagimu wahai Ahmad Al-Musthofa. []

AJ/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *