Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 29 October 2015

BLOG – Kisah Perempuan Saudi di Iran (4)


Pengantar Redaksi: Tulisan berikut bersumber dari blog “saudiiniran“. Isinya merangkum kisah keseharian penulisnya, Sara Masry, seorang peneliti perempuan asal Arab Saudi, selama menetap dan belajar di sebuah universitas di Tehran, Iran, dalam 10 bulan terakhir. Redaksi Islam Indonesia memilih menayangkannya secara berseri untuk menghadirkan perspektif baru di tengah keterbelahan dunia Islam dan pekatnya iklim prasangka, kebencian dan stereotip yang mengiringi perseteruan Arab Saudi vs Iran ihwal sebab musabah Tragedi Mina.

* * *

‘Khuda Hafez’ untuk Sekarang

Pada hari terakhirku di Teheran, seorang teman mengundangku makan bersama beberapa koleganya di restoran Azari. Bangunan berusia ratusan tahun ini telah dipugar dan dijadikan rumah teh tradisional Iran atah ghahve-khane pada masa Shah Pahlevi berkuasa. Di sana mereka menyediakan live band music. Setelah sampai dan bertemu teman-teman, aku melepas sepatu dan naik ke amben yang dilapisi karpet khas restoran tradisional, dan disambut yang lain sebelum duduk.

Aku mulai berkenalan dengan tetanggaku semalam, seorang sarjana National University of Singapore asal Malaysia. Ia menikahi wanita Iran dan sedang berkunjung ke Iran beberapa minggu bersama keluarganya. Kami terlibat dalam percakapan yang sangat menarik seputat Timur Tengah dan bidang studinya, yang juga menyangkut Islam dan konflik Suni-Syiah. Menurutnya, harus ada fokus lebih pada pokok permasalahan itu, untuk menyadarkan adanya kekosongan pada pengetahuan dasar dari pandangan ekstrim kedua pihak, hal yang menuntun terjadinya kekerasan dan kekacauan di Timur Tengah. Ini selaras dengan pemikiranku soal tidak adanya kesadaran yang membuat hubungan orang Arab dan Persia memanas, pada akhirnya juga dihubungkan dengan masalah Suni-Syiah.

Saat kita asik berbincang, band sedang mempersiapkan panggung untuk tampil dan pandanganku pun jatuh pada tuan rumah kami. Temanku ini, Hamid Reza, adalah gambaran keramah-tamahan Timur Tengah. Ia habiskan malamnya dalam kesibukan di antara meja kami dan resepsi, mengkordinasi segala permintaan kami dan memastikan semua orang mendapatkan apa yang dibutuhkannya, bahkan sebelum kita berpikir untuk duduk. Akhirnya ia bisa bersantai setalah band memainkan alunan instrumen khas Iran yang menawan, sayangnya aku hanya mengenal beberapa judul. Beberapa orang mulai meneriakkan asal daerahnya: Mazandaran, Kurdistan, Khuzestan, Khorasan, dan lainnya. Teriakan itu disambut band dengan memainkan musik tradisional khas daerah masing-masing, yang menimbulkan rasa antusias dan tepukan tangan serta nyanyian sepanjang makan malam.

Di tengah rasa gembira yang mengudara sambil mendengarkan alunan musik, aku melihat lukisan-lukisan yang tergantung di tembok. Salah satunya menggambarkan suasana rumah teh tempo dulu, dengan beberapa pria mengelilingi ghalyoun—atau shisha. Lukisan lain menunjukan pertempuran sengit pahlawan terhormat Persia, Rustam, dengan musuh bebuyutannya Div-e-Sepid atau Iblis Putih di kisah ‘Tujuh Tugas Rustam’ (The Seven Labours of Rostam) dalam puisi kepahlawanan Shahnameh karya Ferdowsi. Pada saat itu, dengan alunan musik yang memikat sebagai backsoundnya, aku benar-benar merasa seperti berada di daratan dengan waktu yang berhenti, atau sebuah mimpi para orientalis. Harus kuakui, sebelum datang ke Iran, aku telah mentahayulkan negeri ini. Misal di London, akan ku tanya setiap orang Iran yang kutemui bagaimana rasanya (hidup di Iran), seakan-akan Iran adalah hayalan, jauh di luar planet. Sampai akhirnya aku datang sendiri kesini dan benar-benar menghargai kenyataan ketika suasana mistik/magis tetap ada, Iran hanyalah sebuah negara dengan rakyatnya yang bangun tiap pagi demi mengejar kehidupan normal.  Aku pikir ketidakmampuan menggambarkan realita atau hal yang berhubungan dengan negara dan rakyatnyalah yang mengantar banyak orang ke pandangan yang salah atau berlebihan—terjebak diantara pemberitaan media negatif dan imajinasi dunia lain. Ini sesuatu yang aku sendiri tak pahami sebelum datang kesini—urusan dan hasrat orang di sini tak jauh berbeda dengan manusia di manapun. Yang kutemukan di sini adalah kombinasi magis (the magical) dan kebiasaan sehari-hari. Bagaimanapun, seperti ketika berjalan ke sisa-sisa Persepolis atau menyaksikan kebaikan sederhana seseorang, itu telah membuatkan makin mencintai negeri ini.

Dengan selesainya ujian, esai, dan tahap-tahapnya, keberangkatan dari Teheran malam ini sudah siap. Aku juga sudah melakukan perpisahan kecil untuk sementara; mengucap selamat tinggal pada penjual buah dan sayuran langgananku, juga pada toko lokal dan laundri; dan tiga novel Harry Potter edisi Farsi juga telah kubeli dan kukemas—mereka membantu bahasa Farsiku ketika mundurnya musim panas tak terelakkan. Aku telah tumbuh dan mulai sayang pada Harry, Ron, dan Hermione versi Iran.  Hal yang akan sangat kurindukan dan sulit berpisah adalah kota dan negara ini sendiri; daya tarik dan keramahan orang-orangnya; pemandangan gunungnya yang mempesona dan tak henti-hentinya memerhatikan ibu kota dari utara; dan tujuan petualangan yang tak habis-habis di sekitar sudut kota. Meski begitu, aku juga tak sabar bertemu dengan keluargaku untuk tiga bulan kedepan, dan juga sudah merencanakan setelahnya untuk kembali ke Iran saat cuaca jauh lebih ramah.

Muhammad/IslamIndonesia/saudiiniran.com

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *