Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 22 October 2015

BLOG – Kisah Perempuan Saudi di Iran (2)


Pengantar Redaksi: Tulisan berikut bersumber dari blog “saudiiniran”. Isinya merangkum kisah keseharian penulisnya, Sara Masry, seorang peneliti perempuan asal Arab Saudi, selama menetap dan belajar di sebuah universitas di Tehran, Iran, dalam 10 bulan terakhir. Redaksi Islam Indonesia memilih menayangkannya secara berseri untuk menghadirkan perspektif baru di tengah keterbelahan dunia Islam dan pekatnya iklim prasangka, kebencian dan stereotip yang mengiringi perseteruan Arab Saudi vs Iran ihwal sebab musabah Tragedi Mina. 

* * *

Saya kembali ke Teheran sekitar seminggu yang lalu. Penerbangan saya mendarat pada sore hari dan setelah melewati imigrasi juga mengambil koper saya, saya bertemu dengan supir yang sedang menunggu saya. Sambil berdiri menuruni elevator, yang sedang memainkan versi mini dari “Unchained Melody”, turun ke area parkir, saya merasakan jarak yang begitu nyata. Memikirkan keluarga, teman-teman dan anjing saya yang baru meninggal, semua pertanyaan tentang keraguan diri yang familiar dan ketidak-pastian yang saya alami ketika pertama sampai di Iran mulai meledak-ledak tak beraturan di kepala saya. Saat sudah jalan, supir taksi memulai sebuah percakapan dan dengan hati-hati saya merespon pertanyaan-pertanyaannya dengan bahasa Persi saya yang biasa-biasa saja.
Tiba-tiba sebuah mobil mempercepat lajunya dari belakang kita hingga akhirnya mobil kita saling berdampingan. Wanita yang ada di kursi setir menurunkan jendelanya dan meminta taksi saya melakukan hal yang sama. Dengan kedua mobil berjalan sekitar 120 km/jam di jalan raya, dia bertanya jalan menuju makam Imam Khomeini. Ketika supir berteriak memberi-tahu arah, saya tidak bisa membantu tapi hanya tersenyum sambil mulai merasakan perasaan yang tak terlukiskan untuk kembali lagi ke rumah.
Saat mencapai rumah petak saya yang berdebu, saya mengambil koper dan langsung melihat tetangga saya yang sangat saya rindukan. Mereka memberi saya sambutan sepenuh hati, dan Ibu rumah tangga, Shohreh—walaupun dia jelas-jelas akan pergi tidur sebelum saya sampai—bersikeras membuatkan saya makan malam. Ini adalah sesuatu yang biasa dia tawarkan sebelum saya pergi untuk liburan, tapi saya akan selalu menolaknya dengan sopan. Kali ini saya terlalu capai dan terus terang saja lapar untuk menolak tawaran baiknya. Sepertinya saya akan membuka banyak kesempatan, sejak makan malam saya selalu dibawakan tiap malam—semua sudah siap di piring lengkap dengan sayuran, jadi sudah terlambat untuk menolak.
Saya tentu saja dikuasai penuh oleh perhatian mereka dan langsung memikirkan tentang hal-hal baik yang harus dilakukan untuk tetangga saya, khususnya sejak makan malam saya yang itu-itu saja, tidak bisa ditempatkan di kategori masakan Shohreh yang luar biasa.
Setelah beberapa minggu, saya dengan cepat kembali pada rutinitas yang biasa. Saya senang menemukan bahwa saya ingat apa yang harus dilakukan untuk melalui jalanan yang kacau balau ini. Hal ini mendesak ibu saya untuk bertanya dengan jengkel saat kunjungannya, “Apakah kau melewati jalan ini setiap hari?”. Saya menjawab dengan penuh keseriusan, “Hanya ketika saya keluar saja.”
Kelas-kelas saya sudah dimulai, dan setelah reuni singkat dengan teman sekelas saya, saya senang untuk tahu bahwa hanya satu kelas yang masuk jam 8 pagi semester ini. Walaupun kelas Persi belum terjadwal—jadi syukurlah. Saya juga sudah bertemu dengan semua orang di pojok toko saya, laundry cuci kering, penjual buah, toko roti dan toko bunga. Setelah tidak melihat saya selama tiga bulan, pekerja toko-toko ini menyapa saya dengan lebih empati lebih dari teman-teman saya di rumah sana.
Pemuda Kurdish yang juga bekerja di toko pojok saya bahkan mengalihkan matanya dari televisi yang sedang menyiarkan pertandingan Barcelona-Roma (dia adalah fans berat Barcelona), untuk bertanya tentang perjalanan saya. Semakin banyak hal ini terjadi, semakin saya menyadari saya sedang mengalami hubungan manusia yang paling dasar yang saya cari, yang juga menjadi sebagian motivasi saya untuk datang kemari.
Saya mengakhiri minggu saya dengan sesuatu yang tentu saja di luar kebiasaan saya. Teman saya mengundang saya untuk melihat pentas Jean-Paul-Sartre di Farhangsara-ye Niavaran, sebuah pusat kebudayaan di utara Teheran. Sebuah grup Iran sedang menampilkan “Kematian yang Tak Dibakar” (Les Mort Sans Sepulture), atau Mordegano bi Kafno Dafn dalam Persi. Saat teman saya dengan mudahnya lebih penuh kritis terhadap aktingnya, saat kita terkadang lebih condong dengan produk kebudayaan kita sendiri, saya secara mendadak terrenggut dengan potret bahasa Persi tentang tema yang filosofis yang termasuk ke dalam cerita tentang sebuah kelompok yang berselisih, tertangkap dan disiksa oleh tentara Jerman selama perang dunia ke-2.
Itu adalah kali pertama saya menonton permainan Sartre, dan jujur saya tidak pernah berpikir akan melakukan ini di Iran.Bisa dikatakan, saya pernah melihat Kematian Laki-Laki Penjual produksi Persi saat semester pertama saya di Bioskop Nasional Tehran, sebelum pernah menontonnya dalam bahasa Inggris. Dengan kemampuan bahasa saya yang minim, sehingga saat itu bisa dikatakan saya cukup pusing dengan jalan ceritanya.
Saat minggu saya di mulai, saya dan beberapa teman bersiap-siap mencari bus untuk perjalanan malam ke kota sejarah Tarbis di tenggara Iran, dimana kita berencana untuk menghabiskan beberapa hari. Akan lebih banyak yang datang.
Andi/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *