Satu Islam Untuk Semua

Monday, 25 May 2015

TOKOH – Buaian Cinta Syeikh Abdul Qadir Jailani


Syeikh Abdul Qadir Jailani tidak asing di telinga umat Muslim Indonesia. Beliau lahir sekitar 1077 di Persia, sekarang Iran. Ayahnya bernama Abu Musa al-Salih Hasani, keturunan Hasan bin Ali ra. Hasan adalah putra tertua dari Ali dan Fatimah. Sementara ibunya adalah putri Abdullah Sawmai, keturunan Husain bin Ali ra, anak bungsu dari Ali dan Fatima. Dengan demikian, Syeikh memiliki nasab baik dari jalaur Hasani dan Hussaini.

Nama “Jailani” sendiri berasal dari kata Gilani yang merupakan hasil penisbatan nama daerah beliau di Provinsi Gilan. Orang Arab sangat susah untuk menulis dan mengucapkan kata Gilani; sebab dalam literatur bahasa arab tidak memiliki huruf “G” dan hanya memiliki huruf Jim”J”. Sehingga melaui lidah orang arab Gilani menjadi Jilani, dan melalui lidah orang Indonesia menjadi Jailani.

Tahun 488 H, pada usia delapan belas tahun, ia meninggalkan provinsi asalnya untuk menjadi mahasiswa di Baghdaad, pusat kegiatan politik, ekonomi, budaya, dan pusat belajar agama di dunia Islam pada waktu itu. Setelah mempelajari ilmu tradisional di bawah asuhan guru seperti ahli hukum terkemuka Imam Hanbalii, Abuu Sa’ad Alii al-Mukharrimii, ia bertemu seorang instruktur spiritual Abu’l-Khair Hammaad ad-Dabbaas.

Kemudian, ia meninggalkan kota dan menghabiskan 25 tahun sebagai seorang pengembara di daerah gurun ‘Iraaq. Dia berusia lebih dari 50 tahun pada saat kembali ke Baghdaad.

Sekitar tahun 521 H, Syekh mulai berkhotbah di depan umum. Ceramah-ceramah beliau memukau  hingga masyarakat perlahan  mencintainya. Dia lalu pindah ke sekolah milik guru tuanya, al-Mukharrimi, dengan tempat yang kurang memadai.

Pada 528 H, sistem amal saleh diterapkan untuk pembangunan tempat tinggal dan rumah tamu [ribaat], hingga mampu menampung Shaikh dan keluarga besar nya, serta menyediakan akomodasi untuk murid dan ruang bagi mereka yang datang dari jauh dan majlis akbar. Beliau hidup hingga usia lanjut, dan terus bekerja sampai nafas yang terakhir.

Dalam kata-kata Shaikh Muzaffer Ozak Efendi: “Yang Mulia ‘Abd al-Qadir al-Jilani Wafat pada 561 H, dan dimakamkan di Baghdaad. terkenal karena pengalamannya spiritual yang luar biasa, serta ucapannya yang berkesan dan ajaran bijaksana. Hal ini benar dikatakan kepadanya bahwa ‘ia lahir dengan cinta, tumbuh dalam kesempurnaan, dan bertemu Tuhannya dalam kesempurnaan cinta’.

[Asri/ Islam Indonesia]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *