Satu Islam Untuk Semua

Friday, 08 April 2016

SURAT DARI PASAR IKAN – Jakarta Ladang Amal Kita. Jangan Kalian Gusur Orang-orang Kecil Itu


PADA AKHIRNYA ORANG-ORANG miskin di pesisir Jakarta lah yang harus membayar mahal mimpi Balai Kota mewujudkan pesisir yang bersih dan modern ala Singapura.

Pemberitaan media menyebut Balai Kota mendadak menerbitkan surat penggusuran untuk sekitar 2.000 orang yang bermukim di seputaran Pasar Ikan, Jakarta Utara. Ini disusul dengan pengerahan bulldozer, truk angkut pasukan Reo, polisi, tentara, satpol PP dalam jumlah yang tak diketahui pastinya, ke kawasan sesak itu. Bermalam di mulut pasar sejak pekan lalu, lengkap dengan senjata, pentung, tameng dan motor trail, tugas mereka adalah memastikan penggusuran “aman dan lancar”.

Per Selasa yang lewat, warga berarti hanya punya waktu kurang dua pekan untuk berbenah dan angkat kaki. Yang stress, kejang-kejang dan makan hati jangan ditanya. Balai Kota sendiri sepertinya sadar. Mereka mengirim sejumlah petugas kesehatan untuk berkeliling dari rumah ke rumah, menanyakan kesehatan warga.

Tapi, hei, dokter mana sih yang bisa meredakan stress kaum ibu yang saban sebentar terbangun di tengah malam buta memikirkan kemana mereka harus pindah, bagaimana sekolah anak mereka, bagaimana penghidupan suami, bagaimana bila api tiba-tiba menyambar, bagaimana bila listrik tiba-tiba diputus dengan sengaja? Bagaimana pula makanan bisa tenang lewat tenggorokan bila petugas telah menyilang rumah mereka, seolah mereka adalah orang-orang PKI yang perlu dimarka?

Hari-hari ini, warga harus belajar menelan sendiri stres dan melihat luruhnya seluruh kepercayaan mereka yang tersisa pada kota yang mereka banggakan ini. Mereka harus merelakan segala kenangan, perabotan yang mereka kumpulkan bertahun-tahun, juga pada kenyaman hidup di rumah yang telah mereka huni sebagiannya sejak zaman Soekarno masih berkuasa, untuk kemudian pindah ke tempat baru yang disediakan gratis pemerintah, yang letaknya jauh dari pusat penghidupan mereka, ukurannya lebih kecil dari rumah liliput mereka, namun disebut lebih modern oleh pejabat sebagai Rumah Susun Sewa alias Rusunawa.

Aduhai. Pejabat berdalih penggusuran itu sah dan legal. Tak ada ganti rugi, blas. Sekerat tanah di seberang Pelabuhan Sunda Kelapa itu adalah milik pemerintah, kata mereka, meski mereka tak pernah bisa menunjukkan dokumennya. Menurut pejabat, warga Pasar Ikan, adalah ‘penduduk liar’, mata ikan di telapak kaki kota yang ingin bersicepat bersalin wajah seperti Singapura.

Di atas tanah mereka nantinya, gergasi properti kesayangan Balai Kota bakal membangun jembatan yang memungkinan orang-orang kaya kota menyeberang dan melihat kemodernan baru di Teluk Jakarta. Bisnis baru bakal tumbuh, lapangan pekerjaan terbuka, turisme mengalir, dan, tentu saja, uang dan pajak dalam jumlah yang banyak.

Anda tak perlu jadi profesor atau ahli hadis kawakan untuk tahu kalau warga Pasar Ikan – nelayan, buruh panggul, tukang cuci perahu, satpam, pedagang eceran, adalah orang-orang miskin. Tapi seperti pemukiman kumuh lainnya, mereka punya kehormatannya sendiri.

image

 

 

 

 

 

 

 

 

Mereka tak pernah mengemis. Mereka tak pernah ngeyel, manja, merengek, merepet dan merajuk minta diperhatikan seperti perusahaan multinasional pada sembarang pejabat, menteri dan presiden. Mereka sabarnya orang. Tak pernah mereka letih menanti perubahan hati Balai Kota.

Bila sempat hidup bersama orang-orang di Pasar Ikan, Anda bakal segera sadar kalau tempat ini punya galaksi kebahagiaannya sendiri. Segalanya memang serba liliput, sesak dan terkesan kumuh. Tapi di sini ada sejuta kejutan. Di balik kemiskinannya, banyak dari warga yang bernyali mengambilalih tanggungjawab negara menghidupi dan menampung anak-anak yatim dan terbuang. Ada yang menampung dan membesarkan lima anak angkat sekaligus. Ada yang, dalam rentang 40 tahun, menampung dan membesarkan puluhan anak angkat hingga semuanya jadi orang; jadi pelaut, jadi kapten kapal di Singapura, jadi juragan solar, dan lain-lain.

Berkeliling perkampung, mudah terselip perasaan kita menjadi manusia kembali dan kaya — tapi bukan karena uang. Di lorong-lorong sempit, anak-anak kampung memantulkan keceriaan, berlarian dan menggocek bola ala Messi, bermain kelereng dan petak umpet. Ayah dan ibu-ibu mereka tak perlu arisan di restauran mewah atau social club sekadar untuk mempererat tali silaturahmi. Di sini, padatnya kampung membuat mereka bebas saling lihat isi dapur setiap saat. Di beberapa rumah, ibu-ibu menjual tekwan lima atau enam ribu per mangkuk, dengan kelezatan yang tak kalah dari sensasi menyantap sekerat steak Tenderloin di restauran mewah.

Jelang magrib, bocah-bocah menggemakan Alquran. Di tengah malam buta, suara gemericik air menandakan ada yang terbangun untuk tahajud dan membaca Alquran dengan kesyahduan yang tak bakal bisa dibeli mereka yang tinggal di apartemen Rp 3,5 miliar di jantung kota. Dengan segala kekurangannya, inilah mungkin tempat dimana Ali bin Abi Thalib bakal datang di tengah malam buta memikul karung berisi ransum dan bahan makanan untuk si lemah. Inilah tempat yang lorong-lorongnya bisa jadi membuat Yesus Kristus betah bermunajat hingga subuh.

Tapi di Pasar Ikan hari-hari ini hanya ada  keresahan. Warga merasa diteror. Mereka merasa diintimidasi oleh pejabat yang semestinya memgayomi mereka.

Sejak perintah penggusuran terbit, Balai Kota menumpuk tiang-tiang pancang beton di mulut kampung, menjadikan ruang gerak orang kian terbatas. Ini belum menghitung kehadiran tenda lapangan tentara, parkiran motor trail, truk Reo dan mobil-mobil kumendan polisi – yang semua makan tempat dan seolah sengaja diniatkan untuk mencekik ruang gerak warga. Sebagian kaum ibu bahkan merasa sengaja dibuat tak nyaman di rumah sendiri setelah polisi dan tentara berseragam setiap saat bersiliweran dan nongkrong di gang sempit mereka.

“Kami seperti orang Palestina saja, dipojokkan di tempat sendiri,” kata seorang warga. Seorang warga lain menimpali dengan canda. “Mungkin Balai Kota ingin kami seperti Rohingya, menjadi manusia perahu,” katanya.

Tapi yang paling menyakitkan bagi warga adalah langkah pemerintah kota menggunting ikatan persaudaraan yang telah terjalin — sekadar untuk memuluskan penggusuran. Islam Indonesia mengetahui sejumlah pejabat menyumpal sosok-sosok berpengaruh di kampung dengan sejumlah uang, menawari mereka kesempatan pindah lebih dulu ke rumah susun. Harapannya, warga yang lain membebek, mundur dari keinginan melawan, menuntut ganti rugi.

Langkah itu berhasil. Tapi sebagian warga memilih menolak “kemurahan hati” itu dengan alasan solidaritas terhadap warga lainnya yang tanpa pembela.

Kita mengidamkan kota ini bersih, rapi dan modern seperti Singapura. Tapi kita juga tak ingin Gubernur Basuki Tjahaja Purnama merobohkan tangga-tangga menuju surga yang tersamar di antara sesaknya hunian warga miskin di bilangan Pasar Ikan. []

NB: Pada Senin, warga Pasar Ikan larut dalam haru setelah camat Penjaringan mengabarkan penundaan penggusuran. Esoknya, pada Selasa, pemerintah berubah pikiran. Mereka ingin penggusuran sesuai rencana awal. Terperanjat dengan perubahan itu, seorang warga terbawa pikiran dan meninggal. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.

 

NK/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *