Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 27 November 2014

Suluh Kesejukan dari Tarim


Habib Zayd bin Abdurrahman Yahya

 

Provinsi Hadramaut di Yaman Selatan adalah Bimasakti para Habaib, keturunan Nabi Suci Muhammad saw. Di sanalah, selama beratus-ratus tahun atau bahkan mungkin lebih, berputar dan mengorbit generasi demi generasi mereka yang berjasa menebarkan Islam yang damai ke seluruh penjuru dunia, dari desa kecil di Madura hingga kawasan-kawasan udik di Afrika.

Tarim, sebuah lembah tua di timur provinsi itu, adalah pelita yang tak pernah mati. Di situ, di antara kuburan-kuburan bersejarah, berdiri pusat-pusat pendidikan Islam yang ternama dengan sistem pembelajaran tradisional: rubath. Seperti pesantren di Indonesia, rubath tak ubahnya gula yang tak pernah henti mengundang para pencari ilmu agama dari berbagai kawasan, termasuk Eropa dan Asia Tenggara.

Dan di Tarim itu pulalah nama Habib Zayd bin Abdurrahman Yahya punya bobotnya tersendiri.

Singkatnya, dia ulama kharismatik, jebolan salah satu rubath ternama. Khas sebab dia pernah mengecap pendidikan agama di Al Azhar, Kairo, dan punya pribadi yang simpatik dan keluasan pengetahuan seputar Islam. Kombinasi pas yang kemudian membawanya kerap tampil dan dapat undangan berceramah di berbagai negara.

Oktober silam, Habib Zayd datang ke Indonesia untuk kali yang kesekian. Tapi kali ini dia jadi tamu istimewa Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Lembaga pemerintah itu ingin dia menularkan dakwah Islam yang sejuk guna menangkal virus takfirisme yang menggejala di Indonesia. Lepas tampil sebagai pembicara utama dalam sebuah seminar tentang takfirisme di Universitas Bina Nusantara, dia menyempatkan berbicang dengan Islam Indonesia. Petikannya:

Anda kabarnya sudah beberapa kali ke Indonesia. Apa saja biasanya kegiatan Anda di sini?

Alhamdulillah, saya paling tidak setahun sekali berkunjung ke Indonesia dan ke Semenanjung Malaysia. Kunjungan tentunya dalam rangka undangan untuk dakwah rutin di Jakarta, Pekalongan, Surabaya, Kuala Lumpur, dan kota-kota lainnya. Saya beberapa kali diundang khusus sebagai pembicara dalam Seminar Internasional, di antaranya Seminar Internasional tentang Peran Habaib/Alawiyyin di Nusantara tahun 2012. Baru saja, Oktober 2014 ini, saya dan rekan dari Universitas Ahqaff Tarim, mendapat undangan dari BNPT untuk menjelaskan tentang takfirisme dalam seminar di beberapa universitas, seperti UIN Jakarta, Universitas Bina Nusantara, dan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Di Tarim sendiri, Anda menjabat direktur di Lembaga Penelitian Markaz an-Nur. Lembaga apa itu?

Saya bekerja sebagai direktur lembaga yang berdiri sejak 2003 itu. Lembaga ini memiliki koleksi 60.000 naskah dan buku. Buku yang diterbitkan sebagian besar untuk tingkat aliyah (SMU) dan perguruan tinggi. Di situ saya memandori penelitian dan melakukan tahqiq (penyempurnaan) atas berbagai naskah kuno yang diwariskan ulama pendahulu. Markaz an-Nur sejauh ini sudah merestorasi 45 naskah kuno yang didapat dari berbagai perpustakaan pribadi di Hadramaut.

Soal takfirisme, bisakah Anda jelaskan apa dan bagaimana paham ini?

Takfirisme sebenarnya mudah dikenali pada mereka yang gemar mengkafirkan sesama Muslim yang dianggap berbeda. Tentu saja itu bertentangan dengan esensi Islam. Sebab Rasulullah saw pernah bersabda, “Jika seseorang mengatakan ‘kafir’ pada Muslim lainnya, maka perkataan itu akan kembali pada salah seorang dari keduanya.” Sebagai sebuah paham, takfiri sebenarnya sudah ada sejak zaman sahabat. Anda tentu ingat bagaimana Kaum Khawarij memerangi dan mengkafirkan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, sepupu Rasul dan lelaki pertama yang menjawab panggilan Islam. Singkatnya, pemikiran takfirisme itu terus berkembang seiring zaman. Dan sekarang pun, kita mudah melihat faham itu hadir dan mengguncang dunia dalam sosoknya yang paling mengerikan, seperti Al-Qaida atau jaringan teror sebangsanya. Para ulama mengatakan bahwa jika ada 99 kriteria yang menyatakan seseorang itu kafir dan ada satu kriteria lagi yang menyatakan bahwa dia layak menyandang predikat Muslim, maka sebagai orang Islam kita harus tetap menganggapnya sebagai Muslim. Ini berkebalikan dengan paham takfiri yang mudah mengkafirkan seseorang dari satu kriteria saja, meski masih ada 99 kriteria yang menyatakan orang itu Muslim.

Apa saran Anda untuk Indonesia dalam menghadapi takfirisme?

Tak diragukan lagi, paham takfiri bagaikan penyakit menular nan mematikan, dan kita semua harus dengan tegas berdiri melawannya. Vaksinasinya adalah dengan menanamkan kasih sayang dan menghilangkan kebencian dan kekarasan. Para ulama, da’i, guru harus bekerjasama menghadirkan pemahaman Islam yang penuh rahmat. Kita juga harus membersihkan lembaga pendidikan seperti pesantren dan universitas dari ideologi ekstrim yang mudah membid’ahkan kaum muslim. Para ulama selayaknya mendakwahkan  makna kasih sayang dan persatuan dalam menghidupkan Kitab Allah serta Sunah Rasul-Nya dengan pembahasan-pembahasan yang ilmiah.

Ada buku tertentu mungkin yang pas jadi acuan persatuan Muslim Indonesia?

Salah satu buku  yang saya anggap bisa menerjemahkan cinta dan harmoni di antara aliran dalam Islam adalah sebuah buku berjudul  ath-Thariqah ila al-Fatu al-Islamiyyah (Jalan Menuju Persaudaraan Islam) karya Syekh Abdul Fattah Qaddisyi al-Yafii. Buku ini menjelaskan berbagai pemikiran ulama dan mazhab dalam Islam.

(SB/Islam Indonesia)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *