Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 23 December 2015

Soal Kebudayaan & Intoleransi, Jokowi: Saya Tak Punya Beban, Jangan Khawatir


Presiden Jokowi mengundang sejumlah cendekiawan dan budayawan senior makan siang bersama di Istana negara, Selasa siang (22/12). Di sela-sela makan siang, orang nomor satu di Indonesia itu mendengarkan beragam saran dan kritik dari mereka untuk pemerintahan saat ini. 

“Dua hal yang saya sampaikan ke Pak Jokowi. Meski saya juga aktif demo berbulan-bulan mengecam Soeharto di ITB, tapi saya rasakan Pak Harto lebih baik dalam mengurus kebudayaan ketimbang pemerintahan-pemerintahan paska-reformasi,” kata Haidar Bagir kepada Islam Indonesia, lepas pertemuan di Istana. 

Haidar salah satu di antara cendekiawan dan budayawan yang diundang ke istana kemarin siang. Di depan Jokowi, Haidar menyebut malah di era Soeharto Indonesia memiliki Soedjatmoko, Fuad Hasan, Emil Salim, dan lain-lain. 

“Namun, dalam masa-masa belakangan, sulit kita menemukan orang di pemerintahan yang paham budaya secara mendalam,” kata pria yang masuk 500 tokoh Muslim berpengaruh di dunia 2015 versi The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC). 

Budaya yang dimaksud, lanjut Haidar, harus diperlakukan sebagai akar dari pembangunan, di bidang apa pun. Budaya sebagai akar kemanusiaan, termasuk spiritualitas, moralitas, kesetiaan kepada kebenaran, dan apresiasi kepada keindahan. Yang seharusnya mewarnai semua tindakan politik pemerintahan. 

Jokowi, yang didampingi Teten Masduki dan Sunardi Rinakit, juga menerima masukan tentang kelompok intoleran di kalangan Islam. 

Budaya, kata Haidar ke Presiden, hanya bisa berkembang jika tak ada intimidasi dan ketakutan. Bagi Haidar, belakangan ini menjamur kelompok-kelompok keagamaan tertentu yang anti keragaman budaya. Kelompok-kelompok intoleran ini menyandera bangsa ini untuk mengikuti ideologi mereka yang kasar dan tak berbudaya. 

“Saya bilang (ke Pak Jokowi), terus terang pemerintahan sekarang kurang tegas dalam menghadapi kelompok ini. Polisi kita gamang,” katanya. 

Meski harus tetap dalam koridor penghargaan terhadap HAM, pemerintah perlu bergerak cepat dan tegas, kata Haidar. Kalau tidak, keadaan bisa memburuk sampai tingkat yang tidak bisa diperbaiki lagi. 

“Saya tidak punya beban, jangan khawatir. Saya akan bertindak. Terkadang perlu waktu agar tidak salah ketika memulai. Tapi, tak ada yang bisa menghalangi saya untuk melakukan apa pun selama saya yakin itu benar,” kata Haidar mengutip tanggapan Jokowi sambil menggambarkan suasana pertemuan yang sangat egalitarian dan santai. 

Budayawan Radhar Panca Dahana yang juga hadir berpendapat bahwa pembangunan belakangan ini mengalami defisit kelembaban. Kepada presiden, Radhar menilai, “terlalu kering kalau pembangunan itu hanya diisi capaian-capaian yang bersifat material. Nah, itu lantaran tidak ada fundamen kebudayaan.” 

Selain Haidar dan Radhar, turut hadir di Istana antara lain Romo Franz Magnis-Suseno, Nungky Kusumastuti, Yockie Suryoprayogo, Butet Kartarejasa, Mohammad Sobary, Nasirun, Tisna Sanjaya,, dan Sys NS. Mereka menyampaikan berbagai keprihatinan, mulai mendesaknya pemberantasan korupsi secara tegas dari atas, perusakan lingkungan, dan minimnya penghargaan pemerintah terhadap ajang budaya yang serius. 

Edy/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *