Satu Islam Untuk Semua

Monday, 20 July 2015

‘Sebab Konflik Sosial Tak Pernah Tunggal’


Benarkah Tragedi Tolikara semata perkara, seperti Wakil Presiden Jusuf Kalla, “rebutan mikrofon”? Benarkah di daratan tinggi Papua itu sedang berlangsung ‘konflik agama’? Seperti yang diberitakan, suasana Idul Fitri di Tolikara diwarnai konflik yang berakibat jatuhnya korban jiwa, puluhan luka-luka dan pembakaran sejumlah toko dan bangunan, termasuk mushalla. 

Sejauh ini masih sulit untuk menyimpulkan akar permasalahan yang terjadi di Tolikara hingga kelarnya penyelidikan polisi. Namun menurut lembaga tangki studi agama dan agama dan budaya berbasis Yogyakarta, Center for Religious and Cross-cultural Studies, kisruh berdarah di Papua ini kemungkinan memiliki kesamaan akar dengan konflik lainnya, seperti pada komunitas Syiah di Sampang, kasus Gereja HKBP Filadelfia di Bekasi, dan kasus pembangunan Masjid Nur Musafir di Batulpat, Kupang. 

Lembaga berpendapat, setiap konflik sosial tidak pernah memiliki hanya satu sebab tunggal. 

“Istilah konflik agama bisa saja digunakan untuk peristiwa dimana simbol agama dapat ditunggangi. Baik simbol agama yang menonjol pada pelaku maupun pada korban,” kata lembaga dalam sebuah pernyataan awal pekan ini.
Dari berbagai penelitian, kata lembaga, konflik kepentingan politik lokal kerap berhiaskan simbol keagamaan. Modus ini kerap tampak di berbagai daerah setiap jelang pemilu lokal, katanya. “Mungkin terdapat gesekan persoalan agama, tapi belum tentu agama menjadi sumber utama suatu konflik.”

Menurut lembaga, kemungkinan konflik berlatar perselisihan sosial-politik-ekonomi senantiasa terbuka lebar dalam sejumlah kasus yang diklaim sebagai konflik agama. Pada kasus Tolikara, kata lembaga, perhatian ekstra perlu tertuju pada “pendekatan aparat keamanan yang menggunakan senjata”. “Pendekatan represif yang berlebihan dalam mencegah atau menyelesaikan konflik di sejumlah kasus di Papua sangat disayangkan, apalagi di daerah yang rentan dengan konflik politis.”

Merujuk peneltian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada 2008, lembaga menyebut agama tak termasuk dalam empat sebab utama konflik di Papua dalam 50 tahun terakhir. “Meskipun teradapat gesekan yang berbau agama, namun aktor agama setempat cenderung berperan sebagai juru damai,” kata lembaga. 

“Budaya Papua tidak mengajarkan orang untuk mengganggu, apalagi membakar tempat ibadah,” kata lembaga merujuk pernyataan Peter Neles Tebay, pemimimpin Katolik yang juga dikenal sebagai Koordinator Jaringan Damai Papua.

Menurut Tebay, pembakaran mushala di Tolikara merupakan tragedi pertama dalam sejarah Papua di mana sebuah tempat ibadah dibakar. “Maka, sebagai orang Papua, saya memohon maaf atas peristiwa yang melanggar norma adat ini,” katanya sebagaimana dikutip situs resmi lembaga.

Lebih jauh, penulusuran lembaga yang melibatkan tokoh-tokoh agama di Papua pada 2013 menujukkan agama justru lebih berpotensi menjadi jembatan perdamaian ketimbang sebagai pemicu konflik. Modal sosial ini dipererat lagi dengan ikatan adat yang mempersatukan berbagai pemeluk agama di Papua, kata lembaga. 

Sayangnya, menurut lembaga, seiring dengan perkembangan zaman, ikatan adat tergerus dengan kepentingan-kepentingan pragmatis seperti ekonomi-politik. Pada tahap ini, agama yang dulunya berpotensi sebagai instrumen perdamaian beralih menjadi salah satu instrumen konflik.

“Apapun hasil penyelidikan dari Tolikara yang terungkap nantinya, hal yang minimal kita lakukan ialah tidak memperburuk situasi dengan menjadikan kasus ini sebagai bahan provokasi,” kata lembaga.  

Edy/Islam Indonesia. Foto: BeritaSatu.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *