Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 08 April 2015

OPINI – Israel Dan Kesepakatan Lausanne


Lausanne

IVAN HADAR *

Akhirnya, pada Kamis (2/4/2015) lalu, perundingan antara Iran dengan lima negara pemegang hak veto PBB (AS, Rusia, China, Inggris dan Perancis) plus Jerman, disingkat P5+1, di Lausanne (Swiss), menghasilkan kesepakatan mendasar yang diharapkan sekaligus menyelesaikan konflik yang telah berlangsung selama 12 tahun.

Secara signifikan, Iran bersedia membatasi kegiatan nuklirnya ke depan. Dan, sebagai imbalan, negara-negara Barat akan membatalkan sanksi ekonomi kepada Iran. Iran juga sepakat untuk memperbolehkan kontrol oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) terhadap program pengayaan nuklirnya selama 25 tahun ke depan.

Dalam sepuluh tahun pertama, lebih dari dua pertiga kapasitas pengayaan nuklir Iran bakal ditutup. Selain itu, lebih dari 95 persen uranium yang telah diperkaya akan dihancurkan, sementara jumlah sentrifugal pengayaan uranium dikurangi dari 19.000 menjadi 6.104 Kilo. Setelah itu, dalam waktu 15 tahun, 10.000 uranium yang telah diperkaya akan dikurangi menjadi 300 Kilo. (Die Taz, 3/4/2015)

Presiden AS, Barack Obama, menggambarkan perjanjian tersebut sebagai langkah bersejarah. Sementara itu, di Teheran, puluhan ribu warga kota secara spontan turun ke jalanan, bersorak-sorai sambil menari merayakan kesepakatan tersebut.

Sebelumnya, Benyamin Netanyahu yang baru saja memenangi Pemilu dan kemungkinan besar bakal terpilih kembali sebagai Perdana Menteri Israel, berupaya dengan berbagai cara untuk menggagalkan perundingan dengan Iran.

Kesepakatan dengan Iran, dianggap mirip dengan Politik “Appeasement” dari Kesepakatan Munich 1938, yang telah memberikan waktu bagi Hitler untuk memperkuat militer Jerman yang mengakibatkan Perang Dunia Kedua. Baginya, “Poros Iran-Lausanne-Yaman berbahaya bagi kemanusiaan, sehingga harus dihentikan”. (Times of Israel, 3/4/2015)

Bagi Netanyahu, setelah “Sumbu Beirut-Damaskus-Baghdad”, Iran sekarang melakukan gerakan menjepit Semenanjung Arab Selatan, untuk membawa seluruh Timur Tengah ke dalam kekuasaannya. Penilaian Netanyahu ini merujuk pada perang di Yaman saat ini, di mana milisi Houthi dengan bantuan Iran telah mencapai keberhasilan yang signifikan. Negara-negara Teluk, Mesir dan Yordania juga mencemaskan semakin kuatnya pengaruh Teheran di Semenanjung Arab.

Ganjalan bagi ratifikasi Kesepakatan Lausanne, juga bisa berasal dari Partai Republik yang menguasai Kongres AS. Sebelumnya, Netanyahu atas undangan Partai Republik tanpa sepengetahuan dan membuat marah Gedung Putih, berbicara di depan anggota Kongres AS tentang bahaya Iran bagi eksistensi Israel. Selain itu, di hadapan 16.000 pendukung kelompok lobi pro-Israel AIPAC (American Israel Public Affairs Committee) di Washington, ia juga mencerca upaya Pemerintah AS untuk berunding dengan Iran. Langkah politik yang oleh pihak oposisi Israel dianggap telah mengambil risiko merusak hubungan baik Isarel dengan AS.

Namun, sejumlah analis Israel menunjukkan kesan positif terkait kesepakatan yang dirinci dan sangat konkrit untuk mengurangi program nuklir Iran. “Itu bukan sesuatu yang buruk,” ungkap kolumnis Barak David (Haaretz 2/4/2015). Menurutnya, Jika Iran menaatinya, maka dalam waktu 15 tahun ke depan, mereka hanya akan mampu memperkaya uranium maksimal 3,5 persen. Sebagai perbandingan, hanya dengan memperkaya setidaknya 90 persen, uranium bisa diubah menjadi bahan baku senjata nuklir.

Lebih dari itu, komentator laris dari Harian Haaretz, Nahum Barnea, menulis “Apa yang dilakukan Iran, saya yakin, tidak akan dilakukan Israel.” Meski, tentu saja ada sedikit keraguan terkait “breakout-time” selama satu tahun untuk Iran, sebelum masuknya pengawas internasional.

Bagi Barnea, bagaimanapun, semua itu adalah masalah pilihan. Tuntutan Netanyahu agar segera menutup fasilitas nuklir Iran dengan ancaman serangan militer apabila tidak bersedia, dianggap pilihan yang buruk dan sama sekali tidak realistis. Karena itu, semakin banyak suara di Israel yang memilih pilihan yang yang realistis, sebagai yang “terbaik” di antara yang buruk.

Israel memang pernah mengambil tindakan militer terhadap reaktor nuklir Irak pada tahun 1981. Hal ini dilakukan tanpa persetujuan AS, ungkap Menteri Urusan Strategis, Yuval Steinitz. Namun kali ini ancaman Israel, terdengar sebagai ungkapan putus asa. Bukan hanya karena saat ini Iran telah berhasil menegosiasikan kesepakatan dengan P5+1, tapi terutama karena Netanyahu tampaknya telah kehilangan seluruh amunisi diplomatik dan hampir tidak memiliki pengaruh pada mitra perundingan.

Dalam sebuah wawancara, orang dekat Netanyahu, Menteri Urusan Strategis, Yuval Steinitz, mengakui bahwa Netanyahu nyaris tidak lagi memiliki pengaruh di Washington. Newsweek (27 April 2015), misalnya memberitakan bahwa pidato Netanyahu di Kongres beberapa waktu lalu, tidak hanya membuat marah Obama dan anggota Partai Demokrat, tetapi juga anggota kulit hitam dari Partai Republik, karena sentilannya yang dianggap rasis. Karena itu, bisa dipastikan bahwa kesepakatan dengan Iran bakal disetujui oleh Kongres AS.

 

* IVAN HADAR, Direktur Eksekutif IDe (Institute for Democracy Education)

(IH/Islam Indonesia)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *