Satu Islam Untuk Semua

Thursday, 02 January 2014

Mereka Bicara Sebagai Kita


Kabinet Natsir 1950 (foto:kepustakaanpresiden)

Bagaimana persahabatan di antara tokoh-tokoh bangsa melintasi sekat-sekat perbedaan agama

 

Chris Siner Key Timu  tak akan pernah bisa melupakan sosok Mohamad Natsir. Tokoh Katolik yang sekaligus pengacara ini masih ingat  saat suatu hari dirinya berjumpa  mantan pimpinan partai Islam Masyumi tersebut  di kantor¬ Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Natsir datang untuk ber-konsultasi tentang pencekalan atas dirinya. Bersama penanda tangan Petisi  50 yang lain,ia dilarang bepergian ke luar negeri. Chris datang membicarakan kemungkinan menuntut pemerintah, yang telah ”memaksa” Universitas Atma Jaya Jakarta memecatnya.

Usai rapat,  Chris bersiap-siap pulang dengan menggunakan kendaraan umum.  Namun betapa terkejutnya ia, saat Natsir menawari Chris ikut mobilnya. Karena tidak searah, saat tiba di depan kantor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jalam Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Chris minta  diturunkan. Rencananya, dia akan melanjutkan perjalanan dengan bus ke Semanggi.  Alih-alih menyuruh sopirnya menepi, Natsir  malah mengatakan kepada sang sopir untuk tak menggubris permintaan Chris.  Jadilah ia diantar sampai Semanggi. 

”Padahal saya ini siapalah…” kenang Chris dalam suatu wawancara dengan majalah Tempo.

Sikap bersahabat Natsir  kepada non Muslim memang tidak sebatas kepada Chris Siner Key Timu saja. Sudah sejak lama, ia tak pernah membeda-bedakan kebaikan kepada siapapun, sekalipun kepada yang tidak seagama. Orang tidak akan pernah lupa, bagaimana Natsir dan I.J. Kasimo kerap berdebat sengit di parlemen. Namun setiap natal tiba, Natsir kerap berkunjung ke rumah Kasimo yang posisinya tidak jauh dari tempat tinggalnya. Natsir berumah di Jalan Tjokroaminoto, sedang tokoh terkemuka Partai Katholik itu tinggal Jalan Gresik, Menteng.Hal yang sama juga dilakukan oleh Kasimo saat datangnya hari lebaran: berkunjung ke rumah Natsir.

Sitti Mucliesah, anak perempuan pertama Natsir, bercerita: ” Aba—demikian mereka memanggil ayahnya—masih sering mengirimkan bunga untuk Pak Kasimo dan Pak Leimena pada setiap Tahun Baru.”

Menurut Sitti, sesepuh TNI, T.B. Simatupang dan Leimena bahkan sering datang ke rumah untuk berdiskusi dengan ayahnya. Perkawanan antar tokoh politik lain keyakinan itu malah dilanjutlan ke tingkat antarkeluarga. ”Kami dan anak-anak Pak Leimena sampai sekarang masih berhubungan baik,” ujar Sitti. 

Selain kerap “berperang” dengan Kasimo, di parlemen Natsir juga sering adu mulut dengan F.S. Hariyadi, tokoh Partai Katolik, serta J. Leimena dan A.M. Tambunan dari Partai Kristen Indonesia. Natsir yang dikenal selalu mempromosikan ideologi Islam, menjadi lawan yang tangguh bagi Kasimo dan  kawan-kawannya yang lebih  menyetujui Pancasila sebagai ideologi negara.Namun Natsir dan para tokoh Katholik serta Kristen itu tahu batas. Perseteruan mereka kadang berakhir begitu saja saat mereka sama-sama melangkah ke luar gedung parlemen.

Bahkan  saat Natsir mengajukan Mosi Integral dalam sidang Parlemen Republik Indonesia Serikat pada 3 April 1950, justru tokoh-tokoh nonmuslim inilah yang tegak di belakangnya..Bisa jadi karena “kedekatan” itu pula, Natsir  pernah menempatkan tokoh-tokoh Katholik dan Kristen dalam kebinetnya (1950-1951). Hariyadi, ia tunjuk sebagai Menteri Sosial. Herman Johannes—tokoh Kristen dari Partai Indonesia Raya— ia tempatkan pada posisi puncak  di Departemen Pekerjaan Umum.

Natsir bukanlah satu-satunya tokoh politik Islam yang memiliki pergaulan luas dan baik dengan kalangan nonmuslim. Prawoto Mangkusaswito, tokoh yang pernah menjadi Ketua Masyumi ini dikenal sebagai “cs-nya” Kasimo. Begitu karibnya persahabatan mereka hingga Kasimo pernah membelikan rumah untuk Prawoto di Yogyakarta.

Abu Hanifah, merupakan salah satu tokoh Masyumi yang dikenal sebagai “sobat dekat” Amir Sjarifudin, tokoh PKI yang beragama Kristen. Sejak mahasiswa, mereka berdua seolah “tak terpisahkan”. Begitu dekatnya, hingga  Abu Hanifah dengan gigih menolak anggapan umum jika Amir dikatakan sebagai seorang komunis yang memusuhi agama  “Saya tidak percaya seorang komunis yang membawa-bawa Injil kecil dalam sakunya adalah seorang atheis,”tulisnya dalam Manusia dalam Kemelut Sejarah.

Para pejuang generasi pertama memang bukan segalanya. Tapi sejarah mencatat, seberbeda apapun, mereka selalu mengutamakan kemanusiaan sebagai “bahasa gaul” mereka sehari-hari. Persis, seperti apa yang dikatakan oleh Natsir saat dirinya diwawancara oleh “almarhum” majalah Editor pada 1988, ”Untuk kepentingan bangsa, para politikus tidak bicara kami dan kamu, tetapi kita.”  Ya kita sebagai sebuah bangsa.

 

Sumber: Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *