Satu Islam Untuk Semua

Friday, 26 December 2014

Manusia Berbakat Bahagia


Dalam ajaran Islam, memang manusia diciptakan dengan bakat dan tujuan-akhir kebahagiaan, bukan kesengsaraan, sebagaimana mungkin diyakini oleh sebagian aliran psikologi modern, seperti Freudianisme. Jika hendak disejajarkan, ajaran Islam lebih sejalan dengan Psikologi Positif (Positive Psychology), yang percaya bahwa manusia berbakat berbahagia, dan bahwa tugas psikologi hanyalah mencuatkan (meng-unleash) bakat berbahagia itu. Ajaran Islam bertumpu pada prinsip kasih sayang Tuhan Sang Pencipta sedemikian, sehingga seperti psikologi positif, menolak model-model “psikologi bengkel” seperti Freudianisme itu.

Sampai di sini, menjadi gamblang, bahwa kebahagiaan terkait erat dengan kesiapan atau kesediaan—sebutlah kemauan—untuk berbahagia. Untuk berbahagia, orang harus siap-sedia untuk berbahagia, mau bahagia. Harus memiliki sikap mental—atau tepatnya, sikap hati untuk berbahagia. Dia harus mengembangkan persangkaan-baik. Persangkaan baik kepada kehidupan, kepada Tuhan yang menciptakan kehidupan. Bahwa sesungguhnya kehidupan ini dirancang oleh Penciptanya dalam bentuk kebaikan, yang lahir dari kecintaan-Nya kepada makhluk-Nya. Bahwa, jika dilihat dalam kaca-mata positif, dalam kesadaran akan keseluruhan (wholeness), sesungguhnya kehidupan tak memiliki sifat lain, kecuali kebaikan. Bahwa (apa yang tampak sebagai) kesusahan sesungguhnya adalah kebaikan (juga), hanya dia tersamarkan. Kesusahan sesungguhnya tak lain dari kegagalan kita menembusi permukaan luar atau kemasan saja, ketidakmampuan kita menangkap makna yang terdalam dari kejadian-kejadian. Ketidakberhasilan kita meraih makna di balik fenomena. Bahwa sesungguhnya (apa yang tampak) sebagai kesulitan dan kesusahan itu pada hakikatnya hanyalah pembuka jalan bagi kebaikan yang lebih tinggi, pada kebahagiaan. Bahwa, kalau pun kita mentok di tengah jalan untuk mencapai kebaikan-kebaikan yang kita inginkan maka sesungguhnya ia adalah semacam pembelokan (detour) menuju jalan yang justru akan membawa kita kepada pencapaian kebaikan yang lebih besar. Bahwa sesungguhnya, Tuhan telah menebarkan dalam kehidupan manusia di muka bumi, tak terbatas jalan menuju kebaikan dan kebahagiaannya. Ke mana pun kita mengarah dan menuju, di situ terhampar jalan menuju kebahagiaan kita.

Nah, sikap hati seperti inilah yang harus kita kembangkan, kita latih agar menjadi kebiasaan kita dalam menjalani kehidupan, dalam melihat atau mempersepsi apa saja yang terjadi di kehidupan kita. Ya, kebahagiaan memerlukan latihan.

Bagaimana Cara Melatihnya?

Pertama, kuatkan kesadaran dan pengetahuan bahwa hidup pada dasarnya adalah baik. Selalu lakukan refleksi atas kehidupan kita, dan kehidupan sesama kita. Sama sekali tak sulit melihat dengan hati yang terbuka, bahwa sesungguhnya selalu saja ada hikmah atas apa saja yang terjadi dalam kehidupan kita. Dan sesungguhnya, kehidupan semua manusia, kapan saja dalam sejarah umat manusia di muka bumi. Dan sesungguhnya keburukan hanyalah sekadar konsep, sifatnya relatif. Jika kita melihatnya secara parsial, bukan dalam keseluruhan maka suatu kejadian bisa tampak (terasa) sebagai keburukan. Akan tetapi, jika kita tempatkan dalam suatu perspektif yang komprehensif (menyeluruh) maka sesungguhnya ia adalah suatu pendahulu (prekursor) bagi kebaikan yang lebih besar. Lihatlah pengalaman hidup kita dengan pikiran yang jernih, bacalah pengalaman hidup sesama kita, kapan saja dan di mana saja. Maka, mudah-mudahan kita tak akan gagal untuk memahami hakikat-kebaikannya. Makin banyak kita meyakini hal ini, mudah-mudahan makin kuat-menancap kesadaran kita mengenai sifat-dasar kebaikan dalam kehidupan ciptaan Tuhan ini.

Kedua, timbulkan kemauan. Sebetulnya ini bukan suatu hal yang sulit jika kita sadari bahwa kebahagiaan kita dipertaruhkan di sini. Cobalah untuk selalu melihat ke depan, melampaui kejadian-kejadian itu sendiri. Ke mana kiranya ia membawa kita? Apa makna-positifnya? Kemudian timbulkan sikap mental (sikap hati) sabar dan syukur. Selalu menerima apa saja yang datang kepada kita dengan hati yang lapang. Bahwa segalanya datang dari Tuhan, dan bahwa Tuhan selalu menyimpan maksud baik dalam segala kebijaksanaannya. Hampir-hampir merupakan sisi lain dari koin yang sama, selalu kembangkan sifat-hati syukur–berterima kasih–atas apa saja yang datang kepada kita. Baik untuk kejadian-kejadian yang di permukan tampak sebagai kesulitan—wujudnya adalah kesabaran, dalam konteks keyakinan bahwa ia sesungguhnya adalah pendahulu bagi kebaikan yang lebih tinggi—maupun atas kebaikan-kebaikan yang datang kepada kita, sehingga kita dapat bereaksi positif kepadanya, dan menjadikannya benar-benar sumber bagi sikap-sikap positif yang pada akhirnya benar-benar bisa mendatangkan kebahagiaan kepada kita.

Ketiga, latihlah agar dalam diri kita terpatri kebiasaan (habit) kebahagiaan. Selalu upayakan kesadaran-penuh dan kendali atas kejadian-kejadian yang terjadi dalam kehidupan kita. Setiap saat, selalu operasikan kesadaran kita atasnya. Jangan pernah kejadian-kejadian itu menguasai kita. Jangan biarkan kepanikan merampas kewarasan kita. Setiap saat terjadi suatu kejadian yang segera terasa tidak menyenangkan, coba cari maknanya, merogohlah lebih dalam ke lubuk hati kita untuk dapat menemukan makna positif darinya. Coba upayakan hikmahnya. Coba terawang ke arah mana—yakni kepada kebaikan apa—kejadian ini akan membawa kita. Lakukan berkali-kali agar sikap seperti ini menjadi refleks kita dalam menanggapi kejadian apa saja yang menimpa kita.

Jika sudah semua ini kita upayakan, kita bisa berharap bahwa kebahagiaan akan selalu bersama kita tanpa kita harus mengejarnya. Kenyataannya, kebahagiaan memang selalu ada bersama kita, bersama kehidupan kita. Di mana saja, bersama apa saja, ada kebahagiaan. Kebahagiaan ada di hati kita. Hati kita memang diciptakan sebagai wadah kebaikan, wadah kebenaran, dan wadah keindahan. Yakni, total jumlah yang melahirkan kebahagiaan. Justru, kebahagiaan akan mengelak jika kita kejar karena dia tempatnya bukan di luar. Yang tidak di luar tidak bisa dikejar. Yang di dalam hanya perlu kita sadari dan pahami. Kita hanya perlu mengucapkan “selamat datang” kepada kebahagiaan.

Catatan Akhir

Akhirnya, kiranya perlu kita ungkapkan juga suatu hubungan lain yang menarik antara cinta dan kebahagiaan. Seperti telah disinggung di awal pembahasan dalam bab ini, cinta pada hakikatnya adalah kerinduan untuk memberi. Di satu sisi, dikatakan bahwa cinta mempersyaratkan ketanpapamrihan. Al-Quran pun menegaskan:

Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka men cintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS Al-Hasyr [59]: 9)

Namun, jika hal ini berarti ketanpapamrihan mutlak maka dari manakah lahir dorongan atau bahkan kerinduan untuk memberi itu? Benar bahwa pemberian yang didasarkan oleh rasa cinta yang sejati haruslah tulus. Karena, jika tidak tulus maka apa bedanya dengan egoisme, dengan narsisme? Bukankah esensi narsisme adalah dorongan memberi dengan motif egoistik (ulterior motive) untuk mendapatkan manfaat bagi diri sendiri? Bagaimana cara mengatasi kontradiksi ini?

Sebetulnya tak ada kontradiksi di sini. Pemberian yang egoistik atau narsistik hanyalah terjadi jika kita mengharap balasan dari orang yang menjadi objek pemberian kita itu. Artinya, kita memberi sambil mengharap ada pengurangan pada “milik” objek yang kita beri untuk kepentingan kita. Akan tetapi, jika yang kita harapkan adalah kebahagiaan—bagi yang menyadarinya, sesungguhnya merupakan imbalan puncak dari kegiatan memberi yang tulus—maka tak ada tuntutan pengurangan pada objek pemberian kita. Kebahagiaan sumbernya adalah diri kita sendiri. Seperti kita singgung di atas, kebahagiaan sejati bersifat intrinsik, bukan ekstrinsik. Dalam hal ini, siapa pun tetap dapat ketanpapamrihan dalam ketulusan memberi, tetapi pada saat yang sama tak kehilangan dorongan untuk memberi karena memberi dengan menjanjikan ganjaran paling tinggi yang semua orang sepakat mengenainya.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *