Satu Islam Untuk Semua

Sunday, 25 May 2014

Kisah Bijak Sufi: Tipuan Harta


www.okayafrica.com

Pemburu dunia tak ubahnya peminum air laut. Semakin banyak minum, makin tambah haus. Ia pun terus minum sampai binasa. Namun demikian, ia tetap tak terpuaskan.—Nabi Isa as.

 

Alkisah, pada zaman Nabi Isa as. terdapat tiga pemuda sholeh tengah berjalan kaki menyusuri gurun. Ketiganya sepakat untuk sama-sama menuntut ilmu di sebuah negeri sebrang nun jauh. Namun, saat tiba di tengah perjalanan, mereka menemukan timbunan harta yang melimpah. Alhasil, mereka pun memutuskan untuk istirahat sebentar sembari mencari makan.

Ketiga pemuda itu kemudian sepakat bahwa mereka harus rela berbagi tugas. Salah satu di antara mereka pergi mencari makan. Sementara dua orang lainnya bertugas menjaga harta istimewa itu guna menghindari adanya pencuri atau orang yang mengaku-ngaku atas kepemilikan harta tersebut. Hal ini dikarenakan nilai harta itu dinilai lebih tinggi ketimbang makanan yang akan mereka santap, sehingga penjagaan ekstra pun harus dilakukan.

Akhirnya, dia yang ditunjuk mencari makanan, bergegas pergi meninggalkan kedua sahabatnya. Di tengah perjalanan, terlintas di benaknya untuk menguasai seluruh harta temuan itu. Sang pemuda pun mencari cara agar bisa melenyapkan keduanya. Dan, dipilihlah racun untuk dicampur dengan makanan yang akan diberikan kepada mereka.

Ternyata, niat jahat bukan hanya terlintas dalam benak sang pemuda yang diutus mencari makan saja. Kedua rekannya yang lain juga telah sepakat untuk menghabisinya sekembali ia mencari makan. Tentu saja, mereka berharap agar kekayaan itu hanya dibagi dua saja.

Setelah pemuda yang membeli makanan itu sampai ke tempat semula, kedua rekannya langsung menerkam dan membunuhnya. Tak ada sesal, tak ada rasa bersalah. Bahkan, keduanya tersenyum simpul, lega. Dan, karena sangat lapar, mereka pun tak sempat berpikir lain kecuali menyantap makanan yang diperoleh temannya itu—yang juga telah dibubuhi racun.

Ya, apa hendak dikata, berkat keserakahan dan cinta dunia yang berlebih, nasib ketiganya pun sama-sama berujung maut. Ketiganya sama-sama tidak sempat merasakan sedikit pun nikmat atas limpahan harta yang Allah karuniakan kepada mereka. Ketiganya sama-sama tertipu oleh fatamorgana dunia.

—–

Begitulah dunia. Banyak orang yang tertipu karena keindahannya, hingga melupakan arti penting dari kehadiran dunia itu sendiri—yang notabenenya hanya sebagai sarana, bukan tujuan.

Karena keserakahan, dunia yang seharusnya bisa mendatangkan kenikmatan, justru berlaku sebaliknya—yang bahkan bisa merugikan diri sendiri, hingga mendatangkan kematian.

Konon, Nabi Isa as. bersama para pengikutnya yang setia (Al Hawariyyun) sempat berkunjung ke tempat terjadinya peristiwa itu. Beliau pun berkata, “Lihat, inilah dunia. Bagaimana ia telah membunuh tiga orang yang awalnya berniat suci (menuntut ilmu), namun terperosok oleh fatamorgana dunia,” ujarnya.

“Setelah mereka, tentu akan ada banyak lagi korban-korban yang berguguran karena memburu dan mencintai dunia. Hati mereka terbutakan oleh dunia, hingga melupakan tujuan utamanya dihadirkan ke dunia (untuk mengabdi pada Allah Swt.),”

“Pemburu dunia tak ubahnya peminum air laut. Semakin banyak minum, makin tambah haus. Ia pun terus minum sampai binasa. Namun demikian, ia tetap tak terpuaskan,” lanjut Isa as.

Ya, dunia. Sedari dulu, bahkan Rasul Saw. mewanti-wanti umatnya untuk tidak ngoyo pada dunia, yang bisa mengakibatkannya rugi dunia, bahkan akhirat. Perhatikan, betapa banyak orang yang awalnya dikenal sebagai orang baik, sholeh, pemurah, namun ketika dihadapkan dunia justru malah semakin lupa.

Dalam hal ini, beliau bersabda, “Sebagaimana penyelam laut, ia tidak dapat terhindar dari basah, maka pemburu dunia juga tidak akan terlepas atau terhindar dari kotoran.”

Begitulah Rasul Saw. mengumpamakan dunia dengan kotoran. Nasihat ini bukan berarti kita tidak boleh mencari dunia, namun nasihat ini hadir untuk mengingatkan umatnya agar waspada terhadap titipan yang Allah karuniakan kepada kita (hamba). Bukan malah berlaku zalim, dengan mengejar dan menguasai dunia, hingga melupakan kewajiban kita untuk saling berbagi dalam kebaikan. [LS]

 

Kisah ini diolah dari buku berjudul “Nasihat Al Ghazali bagi Penguasa”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *