Satu Islam Untuk Semua

Tuesday, 03 May 2016

KAJIAN—Haidar Bagir: Tafsir Al-Qur’an Muhammad Asad (2)


Islamindonesia.id—Pertemuan Saya dengan Tafsir Al-Qur’an Muhammad Asad (2)

Oleh: Haidar Bagir

Keempat, dan bagi saya ini benar-benar kelebihan (bukan kelemahan sebagaimana sebagian orang mungkin akan melihatnya) dalam The Message of the Quran, Asad berupaya sedapat mungkin untuk bersikap rasional dalam membaca dan memahami ayat-ayat Al-Quran. Boleh jadi bahkan cenderung rasionalistik di beberapa bagian. Akan tetapi, hal ini sama sekali tak berarti bahwa Asad adalah seorang rasionalis ekstrem. Tak usah terlalu jauh, bahkan sejak ayat-ayat pertama dalam Surah Al-Baqarah, Asad telah menyampaikan posisinya, ketika menafsirkan ayat ke-3 surah itu, bahwa Kitab Suci ini hanya bisa dipahami (dibaca dan diambil manfaatnya) oleh orang-orang yang percaya pada yang gaib. Penjelasan Asad atas konsep “yang gaib” ini menarik untuk diulas serba-sedikit. Di satu sisi, dia dengan tegas menyatakan bahwa setiap orang beriman yang membaca Al-Quran harus percaya terhadap suatu wilayah yang berada di luar jangkauan akal manusia. Atau, dalam bahasa Asad adalah sebagai berikut:

“Al-ghaib … digunakan dalam Al-Quran untuk menunjukkan segala bidang atau tahapan realitas yang berada di luar jangkauan persepsi manusia dan, karena itu, tidak dapat dibuktikan atau disangkal oleh pengamatan ilmiah (sains), atau bahkan tidak dapat dimasukkan secara memadai ke dalam kategori-kategori umum dalam pemikiran spekulatif: misalnya, keberadaan Tuhan, adanya tujuan hakiki yang mendasari alam semesta, hidup setelah mati, hakikat waktu, adanya kekuatan-kekuatan spiritual dan interaksinya, dan sebagainya. Hanya orang yang yakin bahwa realitas tertinggi itu jauh melampaui wilayah yang dapat kita amati-lah yang dapat mencapai iman kepada Allah dan, karena itu, sampai pada keyakinan bahwa hidup itu memiliki makna dan tujuan. Dengan menunjukkan bahwa ia merupakan ‘suatu petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada adanya hal-hal yang berada di luar jangkauan persepsi manusia’, pada dasarnya Al-Quran mengatakan bahwa dirinya—pasti—akan tetap tertutup bagi pikiran orang-orang yang tidak dapat menerima premis mendasar ini.”

Namun, di sisi lain, dia juga menegaskan kesalahan orang yang memahami “yang gaib” sebagai menunjuk kepada apa-apa “yang tak terlihat”, mungkin juga yang berada di luar persepsi pancaindra belaka—atau, dengan kata lain, di luar kemampuan penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan pengecapan manusia. Justru, dalam karyanya ini, tampak betapa Asad ingin mencoba menafsirkan berbagai peristiwa yang disebutkan dalam Al-Quran sebagai terkesan berada di luar penjelasan empiris dengan cara menjelaskan yang sesuai dengan pengalaman empiris. Tentu dengan keyakinan bahwa hukum-hukum yang mengatur alam empiris adalah hukum-hukum Allah (sunnatul-Lah). Dalam hal ini, Asad dapat dikatakan, melanjutkan Sayyid Ahmad Khan, sebagai seorang naturalis. Orang yang percaya sepenuhnya bahwa segala fenomena yang terjadi di dunia ini sepenuhnya diatur oleh apa yang biasa disebut sebagai “hukum alam”.

Sebagai contoh, ketika menjelaskan kisah terbelahnya Laut Merah—dan penutupan-kembalinya—dalam peristiwa pengejaran Nabi Musa a.s. dan pengikutnya oleh tentara Fir‘aun, Asad kurang-lebih menisbahkannya pada peristiwa alam pasang surut permukaan air laut yang biasa. Yakni, ketika Musa a.s. dan pengikutnya lewat, permukaan laut mengalami gejala surut. Sebaliknya, ketika Musa a.s. dan pengikutnya telah lewat, dan giliran Fir‘aun dan tentaranya lewat, permukaan laut mengalami gejala pasang. (Lihat catatan no. 35 pada Surah Al-Syu‘arâ’ [26].—peny.)

Alhasil, meski pasti bukan mistis (yakni bukan ta’wil atau tafsir isyari) dan bukan juga filosofis, tafsir Asad sama sekali juga bukan tafsir literal.

 

AJ/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *