Satu Islam Untuk Semua

Wednesday, 17 June 2015

Di Aceh, Indahnya Tradisi ‘Mad Meugang’ Jelang Ramadhan


Tiap jelang Ramadhan, ada kebiasaan masyarakat Aceh yang berurat akar sejak abad 16 M, di masa Kerajaan Aceh Darussalam berkuasa. Tradisi ini, sebutannya ‘mad meugang’ atau Hari Meugang, diperingati dua atau satu hari sebelum puasa. Di hari inilah, masyarakat Aceh membeli daging, memasak dan makan bersama anggota keluarga.

Pagi-pagi sekali masyarakat berbondong-bondong datang ke pasar untuk membeli daging. Hampir di setiap sudut kota, para penjual telah menggantung daging sapi di lapak-lapak kecil. Mereka menunggu pembeli datang. Para penjual ini mulai  menjamur khusus pada hari meugang saja. Tidak hanya di pasar, namun di beberapa tempat keramaian dan tepi jalan juga berdiri kios kecil pedagang daging.

Salah seorang warga Banda, Fitri, bercerita kalau dia ikut membeli daging untuk dimasak sie puteh (daging yang dimasak berwarna putih). Masakan ini merupakan salah satu makanan khas yang meugang. Meski harga daging mencapai Rp 160.000/kg pada hari kedua jelang Ramadhan, lapak daging meugang tetap saja ramai dikerumuni pembeli.

“Karena hari meugang, walaupun mahal tetap beli. Karena ini sudah jadi tradisi makan daging satu hari sebelum puasa,” katanya.

H. C. Snouck Hurgronje (1985:254) dalam buku ”Aceh di Mata Kolonial” ikut mengabadikan proses mad meugang ini dengan sebutan stranta atau perintah dari Sultan. Hurgronje menulis kalau telah menjadi kebiasaan selama tiga hari sebelum puasa, orang di setiap kampung membeli daging untuk dimakan sepuas-puasnya sehari sebelum puasa. Daging yang lebih disimpan untuk persediaan selama 15 hari dengan mengawetkannya menggunakan cuka, garam, dan bahan dapur lainnya.

Membawa pulang daging ke rumah saat meugang, tulis Hurgronje merupakan sebuah penghargaan seorang suami terhadap istri dan anak-anaknya jika membawa pulang daging ke rumah. Daging merupakan barang mewah yang jarang dihidangkan pada masa itu, dan sudah sejak dulu memasak daging merupakan unsur mutlak untuk meriahnya sebuah perayaan dalam keluarga.

Ketua Majelis Adat Aceh, Badruzzaman Ismail, merinci prosesi meugang di Aceh telah berlaku pada masa Sultan Iskandar Muda memerintah 1607-1636 M. Mad meugang ini terjadi tiga kali dalam setahun yaitu menjelang puasa, Idul Fitri, dan Idul Adha. Istilah ini juga diatur dalam Undang-Undang Kerajaan yang disebut Qanun Meukuta Alam Al-Asyi.

Badruzzaman bilang sebulan sebelum menghadapi meugang puasa, pihak kerajaan memerintahkan perangkat desa mendata orang miskin, yatim piatu, janda, orang cacat. Nah, data itu kemudian diverifikasi lembaga resmi kesultanan, disebut Qadhi, yang setingkat kementerian sosial untuk menetapkan siapa saja yang layak menerima. Qadhi, melalui aparatur desa, membagikan satu tumpukan daging (senilai 1 emas), lauk-pauk (senilai 5 emas), dan 6 hasta kain yang diambil dari uang kas negara.

“Masyarakat Aceh pada masa itu adalah masyarakat agrikultur, jadi untuk menjamin nutrisi masyarakat sebelum berpuasa selama satu bulan, sultan memerintahkan untuk memotong sapi dan semua masyarakat makan daging pada hari itu,” katanya.

Selain memberi makan masyarakat miskin, meugang di Aceh juga menjadi pertanda bahwa puasa akan dilaksanakan pada esok harinya atau tanda sudah mau masuk bulan Ramadhan. Secara otomatis, tradisi mad meugang menjadi sebuah media untuk mengumumkan telah datangnya hari puasa atau telah datangnya hari raya. “Zaman dulu tidak ada selebaran dan televisi sebagai media, jadi hari meugangitulah tandanya,” sebut Badruzzaman.

Perayaan meugang juga mengharuskan anggota keluarga untuk berkumpul dan makan bersama pada hari itu. Akan menjadi aib bagi keluarga apabila ada anggota keluarga yang tidak datang. Baik menantu maupun sang anak tidak dibenarkan mengirim uang kepada ibu untuk membeli daging saat meugang. Daging itu dibeli dan diantarkan sendiri ke rumah ibu atau keluarga untuk dimasak dan di santap bersama dengan keluarga.

Keharusan makan daging bersama keluarga ini mencerminkan silaturahim dan menjaga martabat seseorang di mata masyarakat. Badruzzaman mengatakan meuramin atau makan bersama ini diisyaratkan oleh Sultan Iskandar Muda agar semua orang dapat makan daging sehari sebelum puasa, dan menghindari supaya tidak ada pengemis dan peminta-minta daging di jalanan saat mad meugang tiba.

Setelah Belanda masuk ke Aceh tahun 1873, tradisi mad meugang ini tidak lagi dikelola oleh pihak istana. Walaupun Kerajaan Aceh Darussalam telah kalah dan bangkrut, namun masyarakat tetap menjalankan tradisi membeli daging untuk keluarganya. Pihak Belanda yang menginvasi Aceh juga tidak berani menghapus kebiasaan yang telah mendarah daging dalam masyarakat. Sehingga perayaan sehari ini masih dilakukan meskipun Aceh berperang melawan Belanda.”Jadi orang Aceh membeli daging yang banyak dan disimpan untuk menjadi perbekalan perang,” tutur Badruzzaman.

Tradisi mad meugang ini tetap bertahan sehingga sekarang. Meskipun sistem pelaksaannya banyak bergeser, Badruzzaman berpendapat nilai luhur yang terkandung dalam adat ini masih terpelihara sampai saat ini. Mad meugang masih menjadi simbol syiar Islam penanda puasa dan silaturahim antar keluarga serta mengangkat perekonomian masyarakat. Hanya saja kegiatan membeli daging yang dulunya hanya berlangsung selama satu hari, kini bertambah menjadi dua bahkan tiga hari sebelum puasa atau tiga hari menjelang Idul Fitri.

Nurul Fajri/Islam Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *