Satu Islam Untuk Semua

Saturday, 04 June 2016

ANALISIS–Mengapa Kian Banyak Artis Jadi Contoh Buruk?


Islamindonesia.id–Mengapa Kian Banyak Artis Jadi Contoh Buruk?

Banyak orangtua yang gelisah dengan fenomena begitu banyaknya artis yang terjebak melakukan tindak kriminal dan asusila. Mereka khawatir anak-anak itu meneladani artis idola mereka. Mereka khawatir dan bingung bagaimana cara menahan copy cat anak-anak mereka terhadap perilaku buruk para artis itu.

Tentu ini kegelisahan yang pada tempatnya. Apalagi fenomena artis jadi pelaku kriminal dan asusila sudah begitu bejibun. Mulai perilaku seks bebas, pelaku kekerasan seksual, konsumen narkoba, penipu sampai terkait pembunuhan. Adegan artis jadi politisi medioker, ustad karbitan, bintang porno, artis pukul-pukulan di depan kamera dan sebagainya juga sudah jadi konsumsi banyak orang.

Nah, pertanyaannya: Apa yang mesti dilakukan? Apa solusinya? Bagaimana membuat anak-anak kita sadar bahwa artis-artis itu hanya manusia biasa, yang sebagian terbesar tidak bisa jadi teladan. Bagaimana menyadarkan anak-anak dan publik pada umumnya bahwa artis itu memang tampil di televisi sebagai buruh, cari nafkah, seperti kebanyakan orang, yang sebagiannya dengan cara halal tapi tidak sedikit juga yang siap melakukan apa saja demi mendapatkan keuntungan lebih besar.

Salah satu caranya tentu adalah dengan menyadarkan seluruh pihak pentingnya penegakan hukum yang keras kepada artis yang melanggar kode etik sebagai tokoh publik. Juga tentunya kepada semua tokoh publik lain, terutama dari kalangan politisi. Kalangan tokoh publik ini perlu dihakimi dengan lebih tegas dan keras agar mereka yang berambisi menjadi tokoh publik di masa depan memiliki jiwa tanggungjawab yang lebih besar di satu sisi, dan di sisi lain publik lebih ketat menyeleksi calon tokoh publik mereka.

Dalam kaitan di atas barangkali sanksi sosial dengan pemboikotan terhadap semua produk artis atau tokoh publik yang bersangkutan perlu dilakukan secara lebih massif. Untuk politisi dan pejabat publik barangkali sanksi politik dengan tidak memilih mereka kembali harus digalakkan. Tapi untuk artis yang hidup dari popularitas harus ada boikot terhadap produk mereka. Bila mereka menawarkan sesuatu atau tampil, jangan beli dan jangan datangi.

Solusi lain mungkin lebih sulit tapi patut dicoba dan barangkali bisa dilakukan oleh berbagai lembaga pemerintah maupun non pemerintah terkait: menyelenggarakan berbagai aksi yang menghambat kemunculan kembali artis yang terbukti melanggar kode etik sebagai tokoh publik di satu sisi dan di sisi lain menganugerahi mereka yang berhasil tampil sebagai teladan yang baik.

Tapi jelas ini tidak mudah mengingat sudah banyak sekali artis yang melaggar kode etik dan tidak bertanggungjawab sebagai tokoh publik tetap saja dapat kembali muncul ke tengah publik dan kembali meraup keuntungan lewat popularitasnya. Dalam kaitan ini, publik sendiri harus sadar bahwa menonton mereka atau mengikuti berita mereka dapat membuat mereka terus terkenal dan menjadikan keterkenalan mereka sebagai aset menumpuk kembali kekayaan dan akhirnya mereka kembali jadi tokoh publik. Media dan perusahan pengiklan tentu memiliki saham tanggungjawab terbesar dalam konteks ini.

Solusi lain adalah dengan meminta pemerintah memberikan rambu yang lebih tegas dalam soal ini. Jangan biarkan artis yang sudah terbukti melanggar tanggungjawabnya sebagai tokoh publik untuk kembali tampil apalagi kembali terkenal dan meraih sebanyak mungkin keuntungan.

Namun demikian, semua solusi itu sama sekali tidak efektif tanpa peran serta kritis khalayak konsumen media di mana artis-artis itu hidup darinya. Bila khalayak ini tetap bersikap permisif dengan berbagai alasan dan dalih, maka fenomena di atas akan terus berlanjut. Bahkan tidak mustahil kian membesar. Akibatnya, seperti yang mulai terlihat, bakal banyak artis atau politisi yang berulah aneh dan menyimpang agar terus disorot dan menjadi perhatian hingga dia akan tetap eksis di media yang menjadi tempat mencari nafkahnya.

Bila ini yang sedang terjadi, maka caranya tidak lain adalah melakukan aksi radikal mematikan TV dan media yang memberitakan artis tersebut. Aksi “kill the tv” memang bukan hal baru. Di sejumlah masyarakat Barat aksi itu sudah berlangsung. Dan jika aksi “membunuh media” ini menguat, maka hukum ekonomi akan memukul pemilik media dan pengiklan untuk lebih berhati-hati dan berkompromi dengan publik.

Tapi, lagi-lagi, ini bukan hal yang mudah. Pada kenyataannya masih banyak publik suka dengan sensasi, suka melihat berita buruk, suka melihat yang aneh-aneh, suka melihat hal-hal yang “menyimpang”, yang sadar atau tidak sadar akan mengajarkan pada generasi selanjutnya, yakni anak-anak mereka suatu kegemaran pada sensasi, penyimpangan dan keanehan. Puncaknya, masyarakat itu akan dipimpin oleh elit yang sok tahu, gemar pamer, suka sensasi, predator seksual, korup, kasar, hidup dalam dusta, dan melakukan apapun demi eksistensi mereka. Dan sialnya, di masyarakat itu elit yang seperti ini alih-alih dihukum dengan keras, malah bakal terus eksis dan berpengaruh.

Jika, naudzubillah, keadaan terakhir yang sedang terjadi, maka orang-orang tua bukan lagi harus gelisah dan khawatir, tapi harus beraksi dan turun sendiri melakukan perubahan. Kalau tidak, maka bersiaplah mewariskan masa depan penuh elit yang imoral memimpin generasi selanjutnya.

 

AJ/IslamIndonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *